Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat melesat 3,36% di awal perdagangan Selasa, tetapi tidak lama sudah masuk ke zona merah. Bursa kebanggaan tanah air ini sempat menyentuh level terlemah intraday ke 3.911,716, atau melemah 1,95%. Level tersebut merupakan yang terendah sejak Agustus 2013. IHSG berhasil memangkas pelemahan dan berakhir di level 3.937,632, melemah 1,3%.
Sementara itu, di pasar obligasi, yield Surat Utang Negara (SUN) naik 7,7 basis poin (bps) menjadi 8,322%.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga sedang turun, itu berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi.
Tetapi, di saat IHSG dan obligasi memerah, rupiah justru menguat bahkan menjadi mata uang terbaik ke-tiga di Asia. Tekanan yang dialami oleh dolar Amerika Serikat (AS) serta intervensi dari Bank Indonesia menjadi penyebab penguatan rupiah.
Dolar AS mengalami tekanan setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengumumkan stimulus moneter yang masif pada hari Senin waktu setempat.
The Fed mengumumkan akan melakukan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas guna membantu perekonomian AS menghadapi tekanan dari pandemi virus corona (COVID-19). Aset yang akan dibeli seperti obligasi pemerintah, efek beragun aset perumahan (Residential Mortgage-Backed Security/RMBS), dan beberapa jenis efek lainnya.
The Fed mengatakan akan melakukan QE seberapapun yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran fungsi pasar serta transmisi kebijakan moneter yang efektif di segala kondisi finansial dan ekonomi.
"Tidak seperti pasca krisis finansial global (2008), saat itu nilai QE The Fed terbatas setiap bulannya, kali ini jumlahnya tak terbatas" kata Ray Attril, kepala strategi valas di National Australia Bank, sebagaimana dilansir CNBC International.
Jumlah yang tak terbatas tersebut artinya The Fed akan membeli seberapapun aset yang diperlukan guna menyediakan likuditas di pasar. Banjir likuiditas tersebut membuat dolar AS melemah.
Sebelum menguat di hari Selasa, nilai tukar rupiah terus merosot hingga menyentuh level terlemah sejak krisis moneter 1998.
Sejak akhir tahun lalu hingga Senin (23/3/2020) rupiah sudah merosot nyaris 20%.
Merosotnya nilai tukar rupiah membuat Bank Indonesia (BI) menggelontorkan amunisnya guna menstabilkan nilai tukar Mata Uang Garuda.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo pada Selasa lalu mengungkapkan saat ini cadangan devisa yang dimiliki Indonesia sangat cukup untuk melakukan stabilisasi nilai tukar.
Walaupun saat ini aliran modal asing ke luar cukup tinggi, namun bank sentral memiliki banyak 'kekuatan' untuk membanjiri pasar.
"Aliran modal asing atau outflow baik dari Surat Berharga Negara, obligasi, dan saham itu mencapai Rp 125 triliun," kata Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), dalam briefing seputar perkembangan ekonomi terkini, Selasa (24/3/2020).
Ia menambahkan, Bank Indonesia juga telah menggelontorkan likuiditas hampir Rp 300 triliun. "Melalui pembelian SBN (Surat Berharga Negara) Rp 168 triliun dan dari repo perbankan Rp 55 triliun. Dan tak lupa ada penurunan GWM yang beraku April ini Rp 75 triliun," imbuh Perry.
Terkait penguatan rupiah di hari Selasa, Perry mengatakan hal tersebut terjadi berkat pasokan valas dari eksportir.
"Nilai tukar rupiah hari ini cukup stabil. Bid dan offer berjalan baik di pasar valas. Terima kasih kepada eksportir yang memasok dolar ke pasar valas," kata Perry.
BI, lanjut Perry, juga terus berada di pasar untuk mengawal rupiah. BI masih melakukan intervensi di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF), dan pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder.
Perry menegaskan bahwa BI punya 'amunisi' yang memadai bernama cadangan devisa. Sebagai informasi, cadangan devisa Indonesia per akhir Februari 2020 adalah US$ 130,44 miliar.
https://ift.tt/2Jd60lV
March 26, 2020 at 06:45AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bursa Global Reli 2 Hari Beruntun, IHSG Tolonglah Ikut.."
Post a Comment