Search

Covid-19, Gejolak Ekonomi Global, dan Fleksibilitas APBN

Tanpa ampun, pandemi Covid-19 dan gejolak perekonomian global menghantam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia sekaligus dalam sekali pukul. Telaknya lagi, kedua pukulan itu mendarat di kuartal pertama di mana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 baru saja dilaksanakan. Tidak mudah bagi APBN sebagai instrumen utama kebijakan fiskal untuk menyesuaikan diri dengan arus ketidakpastian yang masih akan terus berubah dalam tiga kuartal ke depan.

Januari lalu, ketika baru beberapa pekan saja dilaksanakan, sejumlah indikator APBN 2020 sudah menjadi perdebatan. Nilai tukar rupiah menguat tajam hingga ke level Rp 13.500 per dolar AS, cukup jauh dari asumsi makro APBN di level Rp 14.400 per dolar AS. Namun, tak lama berselang, angin mulai berubah arah. Pandemi Covid-19 yang berawal dari China mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Pertengahan Maret, pemerintah resmi mengeluarkan imbauan bekerja dari rumah dan social distancing untuk menekan penyebaran Covid-19. Bak komidi putar, rupiah berbalik arah melemah tajam hingga menembus batas psikologis Rp 16.000 per dolar AS pada akhir Maret.

Di tengah kekhawatiran penurunan volume perdagangan internasional akibat pandemi Covid-19, putra mahkota Arab Saudi membawa kabar yang tak kalah mendebarkan. Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) memulai perang harga dengan Rusia yang menyebabkan minyak dunia terjun bebas dari level 60 dolar AS per barel ke level di bawah 30 dolar AS per barel. APBN 2020 kembali mendapat tekanan hebat karena pada asumsi makronya, Indonesian Crude Price (ICP) yang sangat terpengaruh harga minyak dunia terlanjur dipatok di angka 63 dolar AS per barel. Artinya, terjadi deviasi asumsi harga minyak mentah lebih dari 50%.

Perlu diketahui, peraturan perundang-undangan membatasi deviasi indikator-indikator makro APBN dalam koridor yang relatif sempit dibanding kebutuhan di masa penuh gejolak saat ini. Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau MD3, misalnya, membatasi perubahan asumsi makro dan postur anggaran dengan deviasi maksimal 10% serta penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%. Apabila realisasi diyakini melewati batas tersebut, maka APBN harus direvisi. Di sisi lain, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam penjelasan pasal 27 ayat (3) membatasi defisit anggaran di angka 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) setiap tahunnya.

Sulit Diprediksi
Yang menjadi persoalan terberat sebenarnya bukan pada perubahan drastis yang terjadi, namun pada faktor penggerak perubahan-perubahan tersebut yang sifatnya sulit diprediksi. Terkait minyak dunia, misalnya, sebagian analis memperkirakan harganya masih akan terus tertekan hingga menembus level 10 dolar AS per barel oleh menurunnya permintaan akibat pandemi Covid-19. Perkiraan ini bisa berbalik 180 derajat kapan saja, apabila suasana hati Pangeran MBS tiba-tiba berubah dan mengurangi produksi minyak mentahnya. Soal turun drastisnya harga minyak, asumsi ICP di APBN bisa saja direvisi menyesuaikan. Persoalannya, jika sudah direvisi kemudian mood Pangeran MBS benar-benar berubah, normalnya APBN tidak bisa direvisi dua kali.

Begitu pula dengan isu pandemi Covid-19 yang tengah melanda negeri ini, sangat sulit diprediksi. Pemerintah Indonesia belum pernah memiliki pengalaman menangani wabah dengan tingkat penularan tinggi macam Covid-19 ini. Jangan heran apabila pemerintah terkesan ragu dan lamban dalam menentukan metode penanganannya, apakah akan menerapkan lockdown, atau mengandalkan herd immunity, atau sebatas imbauan social distancing. Penanganan Covid-19 memang bukan perkara yang mudah dan sederhana. Hanya saja, setiap metode penanganan memiliki tingkat ketidakpastian yang berbeda. Dengan tidak menerapkan lockdown, misalnya, ketidakpastian terkait seberapa lama pandemi ini berlangsung menjadi lebih tinggi. Padahal, dampak ekonomi Covid-19 sangat bergantung pada durasi wabah itu berlangsung, semakin lama maka dampaknya akan semakin buruk.

Tingginya ketidakpastian dampak pandemi Covid-19 tersirat dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani seperti dikutip laman berita CNBC Indonesia, 20/3/2020. Bendahara Negara menyiapkan sejumlah skenario dampak Covid-19 dalam rumusan perubahan APBN 2020 yang tengah digodok bersama jajaran pemerintahan lainnya. Skenario sedangnya, apabila pandemi bisa ditangani dalam kurun 3-6 bulan, maka pertumbuhan ekonomi diprediksi berkisar 2,5% hingga 3%. Skenario terburuknya, apabila pandemi berlangsung lebih dari 3-6 bulan, maka pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 0% hingga 2,5%. Semua skenario ini tentu jauh di bawah asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN 2020 di angka 5,3%.

Potensi persoalannya adalah jika pemerintah keliru memilih skenario dalam merumuskan postur, alokasi anggaran, serta asumsi makro dalam perubahan APBN yang kabarnya akan segera diproses. Merujuk pada stimulus fiskal jilid satu dan dua yang telah diterbitkan, penulis menangkap sinyal bahwa pemerintah akan menggunakan skenario sedang. Hal ini terlihat, misalnya, dari pembebasan PPh Pasal 21, 22, dan 25 yang didesain berlangsung hingga 6 bulan. Skenario sedang ini akan tepat sasaran apabila asumsi puncak pandemi Covid-19 benar-benar terjadi di bulan Mei, seperti yang diperkirakan pemerintah. Namun, dengan tidak adanya kebijakan lockdown dan sikap tegas terhadap lalu lintas orang, perkiraan tersebut berpotensi meleset. Apabila benar-benar meleset, semoga tidak, dan yang terjadi adalah skenario terburuk bahwa pandemi berlangsung lebih dari 6 bulan, maka asumsi dan target yang ada pada perubahan APBN sebelumnya menjadi tidak relevan.

Tiga Skenario
Tingginya tingkat ketidakpastian memunculkan risiko terjadinya perubahan indikator perekonomian yang signifikan di setiap kuartal sepanjang 2020. Untuk mengatasi segala ketidakpastian tersebut, setidaknya terdapat tiga skenario mekanisme perubahan APBN 2020 yang bisa dilakukan.

Skenario pertama adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) APBN 2020. Ini merupakan rekomendasi Badan Anggaran DPR RI untuk mengakomodir kebutuhan yang mendesak terhadap anggaran bagi program-program penanganan pandemi Covid-19. Untuk membiayai program tersebut diperlukan realokasi anggaran pada belanja Pemerintah Pusat hingga Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).

Melalui perppu, pemerintah dapat melakukan perubahan APBN 2020 tanpa perlu melakukan banyak rapat bersama DPR. Ini sejalan dengan semangat social distancing yang menghindari kegiatan yang melibatkan banyak orang. Setelah Perppu APBN 2020 diterbitkan, sesuai Pasal 52 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3), maka pada masa sidang berikutnya DPR harus memberikan persetujuan untuk menetapkannya menjadi UU atau mencabutnya. Dengan diterbitkannya Perppu, Pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengeksekusi program penanganan pandemi.

Hanya saja, terdapat pertanyaan terkait keabsahan perppu APBN 2020. Apakah APBN dapat menjadi objek perppu? Pertanyaan ini diperkuat dengan Pasal 23 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa APBN yang diajukan Presiden adalah berbentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) bukan perppu. Pertanyaan ini barangkali bisa dijawab dengan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden dapat menerbitkan perppu. Selain itu, dalam UU P3, APBN dikategorikan sebagai UU, lebih tepatnya dalam daftar kumulatif terbuka. Artinya, sebagai UU, APBN dapat menjadi objek perppu. Yang menarik kemudian adalah ketika Perppu APBN 2020 telah disetujui oleh DPR dan ditetapkan sebagai UU, apakah bisa menjadi objek dari RUU APBN Perubahan (APBN-P) di kemudian hari? Secara normatif, menurut penulis, bisa. Karena, apabila telah mendapat persetujuan DPR, Perppu APBN 2020 ditetapkan menjadi UU APBN 2020. Jika demikian, maka APBN bisa lebih fleksibel untuk menjawab tantangan gejolak ketidakpastian dengan perubahan APBN yang lebih dari satu kali.

Skenario kedua adalah RUU APBN-P 2020 dengan jadwal yang lebih awal. Tujuannya mirip dengan skenario perppu, yakni memberikan kepastian hukum terhadap mendesaknya eksekusi program penanganan pandemi. Perbedaannya, RUU memiliki keabsahan lebih kuat dibanding perppu. RUU APBN-P lazim diajukan dan dibahas lebih awal apabila terdapat perbedaan yang signifikan antara target dan asumsi APBN tahun sebelumnya dengan realisasinya. Hal ini karena APBN tahun berjalan disusun berdasarkan outlook realisasi APBN tahun sebelumnya. Jika realisasinya banyak meleset, maka hampir dapat dipastikan target pada APBN tahun berjalan juga akan meleset. Sebagai contoh, RUU APBN-P 2008 diajukan pada bulan Maret dan disetujui oleh DPR pada April. RUU APBN-P 2014 diajukan pada Maret dan disahkan Juni.

Mengikuti pola tersebut, pemerintah dapat mengajukan RUU APBN-P 2020 sejak bulan Maret atau April untuk selanjutnya dibahas dan ditetapkan pada Mei. Hal itu sesuai dengan Pasal 182 UU MD3 yang mengamanatkan pembahasan RUU APBN-P selama satu bulan masa sidang setelah diajukan. Namun, akibat tingginya ketidakpastian pandemi Covid-19 dan gejolak perekonomian global, realisasi RUU APBN-P 2020 yang lebih awal berisiko meleset dari target dan asumsinya. Bisa kita bayangkan apabila di kuartal ketiga angin kembali berubah arah, pandemi Covid-19 ternyata belum mencapai puncaknya dan harga minyak dunia kembali ke level sebelumnya di 60 dolar AS per barel. APBN yang telah direvisi menjadi tidak relevan. Sedangkan lazimnya, UU APBN hanya direvisi satu kali melalui RUU APBN-P.

Skenario ketiga adalah RUU APBN-P 2020 dengan jadwal normal atau lebih akhir. Berbeda dengan RUU APBN yang diatur secara rinci waktu dan siklusnya dari pengajuan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal, Nota Keuangan, hingga pembahasan dan penetapannya, RUU APBN-P tidak diatur secara baku waktu dan tahapannya. Pasal 27 ayat (5) UU Keuangan Negara hanya menyebutkan RUU APBN-P diajukan dan mendapat persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir. Kemudian pada Penjelasan Umum UU yang sama disebutkan bahwa laporan realisasi semester pertama diajukan Pemerintah pada bulan Juli dan menjadi bahan evaluasi untuk perubahan APBN. Artinya, jika mengikuti jadwal normal, Pemerintah dan DPR membahas RUU APBN-P 2020 setelah bulan Juli untuk ditetapkan pada Agustus. Pemerintah dan DPR juga dapat mengakhirkan pembahasannya hingga sebelum tahun anggaran berakhir.

Dengan mengikuti jadwal normal atau mengakhirkan RUU APBN-P, pemerintah memiliki cukup waktu untuk memantau perkembangan situasi yang terus bergejolak. Apabila kembali terjadi perubahan signifikan pada akhir semester pertama atau kuartal ketiga 2020 baik di sisi penanganan pandemi maupun perekonomian global, pemerintah dan DPR masih dapat mengakomodirnya dalam pembahasan RUU. Lantas bagaimana dengan kebutuhan anggaran penanganan pandemi yang mendesak di kuartal pertama ini? Sejatinya pemerintah memiliki ruang untuk tetap dapat melakukan realokasi anggaran sekaligus mengeksekusi program penanganan pandemi tanpa perubahan APBN terlebih dulu. Seperti disebutkan pada Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara, "dalam keadaan darurat pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran."

Setiap skenario pada dasarnya memiliki kelebihan dan kekuarangannya masing-masing. Di atas semua itu, kesepahaman setiap pihak bahwa pandemi Covid-19 serta gejolak perekonomian global adalah tantangan yang harus dihadapi dan diatasi bersama merupakan poin yang paling utama. Dengan demikian, bangsa Indonesia bisa saling bahu-membahu menelurkan solusi yang tepat sasaran untuk melewati badai yang tengah menerjang ini. Dengan demikian, APBN dapat menjadi instrumen yang fleksibel dan efektif menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian, namun tetap kredibel dan andal untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

[Gambas:Video CNBC]

(miq/miq)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2UUovBo

March 31, 2020 at 10:49AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Covid-19, Gejolak Ekonomi Global, dan Fleksibilitas APBN"

Post a Comment

Powered by Blogger.