Pasar modal syariah Indonesia sedang bergejolak. Ada faktor internal dan eksternal yang melatarbelakanginya. Namun ada satu pertanyaan menarik. Apakah upaya untuk meningkatkan inklusi dan literasi pasar modal syariah juga harus berhenti?
Menurut pendapat saya, justru kondisi seperti ini merupakan peluang. Peluang untuk membuktikan bahwa di tengah gejolak, masih ada instrumen investasi syariah yang mampu memberikan imbal hasil investasi yang positif.
Kinerja saham syariah sangat terpukul. Jakarta Islamic Index (JII) anjlok sekitar 10% sejak awal tahun ini (year to date/ytd) hingga 16 Maret lalu. Namun demikian, sukuk dan instrumen pasar uang syariah, masih mampu mencatatkan kinerja yang positif. Indeks Sukuk Composite membukukan kinerja sekitar 3% (ytd) dan sekitar 13% untuk kinerja selama 1 tahun.
Instrumen pasar uang syariah membukukan kinerja sekitar 1% (ytd) dan sekitar 6% untuk kinerja selama 1 tahun. Kondisi ini akan terlihat di kinerja Reksa Dana Syariah. Kinerja reksa dana syariah yang berbasis saham syariah memang terpukul. Akan tetapi, reksa dana syariah yang bebasis sukuk dan instrumen pasar uang syariah, masih mampu memberikan imbal hasil yang positif.
Untuk kepentingan inklusi pasar modal syariah, sejatinya, reksa dana syariah yang sesuai adalah reksa dana syariah yang berbasis instrumen pasar uang (didominasi oleh deposito syariah).
Faktor utamanya adalah karena sifatnya yang konservatif dengan risiko investasi yang rendah. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di tahun 2016 juga menunjukkan bahwa produk dan layanan jasa keuangan syariah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat adalah tabungan (9,1%), asuransi (1,9%), deposito (1,6%), dan giro (0.9%).
Selain itu, pengetahuan masyarakat tentang manfaat dan risiko dalam menggunakan produk dan layanan jasa keuangan syariah relatif rendah, yaitu 22,7% untuk manfaat dan 10,8% untuk risiko.
Jika dibandingkan dengan produk dan layanan jasa keuangan konvensional, 86% untuk manfaat dan 36.1% untuk pemahaman risiko.
Sementara itu, pengetahuan masyarakat tentang fitur produk dan layanan jasa keuangan syariah hanya sebesar 22,4%. Rendahnya pemahaman masyarakat ini disebabkan karena masyarakat belum sepenuhnya memahami istilah keuangan syariah.
Format apa yang pas untuk inisiatif ini?
Kita bisa mengadopsi salah satu program flagship OJK, yaitu program Simpanan Pelajar (Simpel). Sedikit modifikasi, maka programnya akan menjadi program Reksa Dana Syariah Pasar Uang (RDSPU). RDSPU akan dikelola oleh perusahaan manajer investasi (MI) syariah atau MI yang memiliki Unit Pengelolaan Investasi Syariah (UPIS). Jumlahnya saat ini ada lebih dari 50 unit.
Program RDSPU ini akan menyasar peserta didik dari jenjang Sekolah Dasar hingga SMA / Madrasah Aliyah dan Pondok Pesantren. Tujuan program ini adalah agar para peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, dapat menjadikan kegiatan investasi bukan hanya sebagai kewajiban melainkan kebutuhan atau bahkan gaya hidup.
Secara statistik, jumlah pelajar SD, SMP, SMA dibandingkan dengan total populasi Indonesia, menunjukkan angka yang signifikan yaitu 20%.
Sekitar 38,8 juta siswa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan sekitar 11 juta siswa di bawah Kementerian Agama. Program RDSPU ini harus dibuat sesuai dengan karakteristik dan fitur yang dapat memenuhi kebutuhan mereka, dengan persyaratan yang mudah dan sederhana. Program ini wajib mengoptimalkan penggunaan platform online yang sesuai dengan karakteristik generasi mereka.
Diharapkan, 15-20 tahun mendatang, Indonesia sudah memiliki basis investor reksa dana syariah yang kuat. Pada tahun 2019 yang lalu, jumlah investor reksa dana syariah tercatat sebanyak 230.987 investor.
Dukungan dari para stakeholder sangat dibutuhkan agar program ini dapat berjalan secara simultan, masif dan berkelanjutan. Program ini wajib menjadi program flagship OJK.
Sebagai informasi, hingga akhir kuartal ketiga 2019, program Simpel berhasil menghimpun saldo tunai sebesar Rp 8,76 triliun dengan 350 bank sebagai peserta, melibatkan 347.477 sekolah dan 2.584.281 jumlah rekening telah dibuka.
Seiring dengan inisiatif inklusi, inisiatif untuk literasi juga perlu dijalankan. Perlu langkah konkret untuk inisiatif literasi ini. Satu ide adalah dengan membentuk sebuah pusat inkubasi dan pengembangan pasar modal syariah. Pusat inkubasi ini akan menyasar 3 pilar utama di industri pasar modal syariah. Mereka adalah emiten/calon emiten syariah, investor/calon investor syariah, dan para pelaku di industri. Pusat inkubasi akan mempersiapkan output untuk ketiga pilar tersebut.
Output untuk emiten/calon emiten nantinya adalah program pendampingan yang comprehensive. Tujuannya adalah agar mereka secara konsisten menerbitkan produk investasi syariah dan memilih produk investasi syariah sebagai alternatif pembiayaan.
Dengan demikian, diharapkan, 15-20 tahun yang akan datang. Jika program inklusi di atas berhasil, maka pasar modal syariah di Indonesia sudah dalam kondisi yang kondusif.
Sudah banyak pilihan instrumen investasi syariah. Output untuk investor/calon investor adalah tersedianya program sosialisasi pasar modal syariah yang efektif dan efisien, tepat guna dan tepat sasaran. Sedangkan output untuk para pelaku adalah terciptanya sumber daya manusia (talent pool) pasar modal syariah yang berkualitas yang mampu menjawab perkembangan pasar modal syariah di masa yang akan datang.
(tas/tas)https://ift.tt/2xeQ67O
March 20, 2020 at 09:10AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pasar Saham Babak Belur, Pasar Modal Syariahkah Solusinya?"
Post a Comment