Bagi bangsa pemenang, sebuah krisis tidak hanya meninggalkan kepahitan dan luka, melainkan juga pelajaran: pelajaran untuk mengubah sistem agar lebih adaptable guna menaklukkan krisis-krisis selanjutnya.
Sejarah menunjukkan bahwa mayoritas negara-negara maju saat ini terbentuk melalui berbagai pergolakan dan krisis. Amerika Serikat (AS) menghadapi ratusan pergolakan di dalam sejarahnya, hingga terlibat perang kawasan dan bahkan perang dunia.
Jerman, negara asal-muasal dua perang dunia yang ironisnya tak satupun mereka menangkan, kini menjadi perekonomian terbesar di Eropa. Demikian juga dengan Jepang yang memakai semangat bushido (semangat bela kehormatan) untuk mempercepat penguasaan teknologi.
Kini, semua negara dihadapkan pada pergolakan melawan musuh yang sama: corona. Indonesia mencuri perhatian karena tingkat kematiannya menjadi yang tertinggi ke-8 dunia, yakni sebesar 8,4% alias mengekor Italia yang sebesar 8,6%. Padahal rerata dunia per hari ini "hanya" 4,1%.
Di Asia Tenggara, fatalitas akibat corona di Indonesia juga yang tertinggi baik dari sisi rasio maupun jumlah (38 korban jiwa). Kematian akibat corona di Filipina misalnya "hanya" 19 orang, atau jauh rentangnya dari angka kematian di Indonesia.
Di tengah kondisi demikian, Presiden Joko Widodo ngotot memilih social distancing, dan baru merencanakan tes massal-20 hari sejak kasus positif corona pertama muncul ke permukaan, dan 2 bulan setelah publik dipameri sikap santuy dan cenderung denial oleh para pejabat.
Pemerintah belum berani mengikuti China dan Italia yang mengkarantina, atau me-lockdown (pemutusan akses keluar-masuk) Jabodetabek yang menjadi episentrum COVID-19. Padahal, penderita baru corona naik nyaris 20% dalam sehari (per Jumat 20/3/2020) dan naik lagi 22% per Sabtu. Lajunya kian cepat.
Kekhawatiran akan dampak ekonomi lockdown menjadi alasan utama di balik keputusan pemerintah ini. Maklum saja, perputaran uang di Jakarta raya mencapai 60% dari total uang beredar di Indonesia. Belum lagi jika berbicara sektor informal di Jabodetabek yang sumber mata pencaharian mereka satu-satunya bakal terhenti selama lockdown berlangsung.
Kekhawatiran lainnya adalah terkait pasokan logistik ke wilayah tersebut, terutama menjelang Bulan Puasa, yang selalu berujung pada kenaikan konsumsi masyarakat hingga dua kali lipat dari biasanya. Jika lockdown terjadi dan menghambat suplai, wassalam. Panic buying akan terjadi dan memperburuk keadaan.
Perbesar Social Restriction, Dorong Digital Rush
Indonesia bukanlah China, negara otoriter dengan perekonomian terbesar kedua dunia. Dari sisi APBN, pendapatan Indonesia hanya US$ 140 miliar, kalah jauh dari China (US$ 3.400 miliar), sehingga belum tentu bisa menanggung konsekuensi ekonomi akibat lockdown: memenuhi kebutuhan sehari-hari tak cuma pada warga melainkan juga pada hewan ternak.
Namun, bukan berarti tujuan karantina hanya bisa dicapai dengan lockdown. Mengacu pada UU nomor 8/2018 tentang Karantina Kesehatan, Presiden bisa menerapkan Pembatasan Sosial (social restriction) Skala Besar di episentrum corona. Intinya seperti social distancing sekarang, tapi lebih tegas: mencegah terkumpulnya massa dan membatasi operasi dunia usaha.
Jadi tak hanya sekadar himbauan, melainkan pelarangan dengan konsekuensi hukum. Presiden berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk memaksa rakyat menghentikan aktivitas yang riskan memicu penyebaran virus corona. Aparat dilibatkan dalam penegakannya, sembari melakukan tes massal di wilayah episentrum COVID-19.
Pergerakan barang dan manusia tetap diizinkan, tetapi akses keluar-masuk warga ke wilayah lain dibatasi, dengan penghentian sementara transportasi umum agar carrier virus tak menyebarkannya ke provinsi lain hingga tes masal mengidentifikasi dan menempatkan carrier dalam fasilitas isolasi dan penyembuhan. Hampir mirip seperti lockdown tetapi dalam skala yang terbatas.
Sementara proses itu berlangsung, aktivitas bekerja di rumah (working from home/WFH) dijalankan secara massal, yang justru membuka peluang Jabodetabek mempercepat implementasi atau setidaknya menguji coba praktik digital society: rapat berbasis teleconference, kelas teleducation, pekerjaan remote, pabrik otomasi, dan big data untuk mitigasi penyebaran virus.
Kementerian Komunikasi dan Informatika menjadi garda terdepan, mengumpulkan pelaku usaha digital mulai dari startup, fintech, perbankan, e-commerce hingga peritel. Harapannya, kerja sama entitas-entitas tersebut membuat aktivitas keuangan dan kelancaran logistik, ketika gerai ritel dan kantor membatasi operasinya.
Di sisi lain, penyedia infrastruktur digital dan internet harus memperbesar kapasitas layanan, agar tidak mengulang kesalahan Malaysia. Kaspr Datahaus, lembaga analisis data asal Australia, mencatat kecepatan internet Negeri Jiran anjlok 5% pada 13 Maret, setelah pemerintah mengumumkan angka penderita corona di tiap wilayah.
Rupanya, pengumuman itu membuat warga Malaysia memilih berdiam diri di rumah dan melakukan apa yang juga dilakukan warga Wuhan ketika lockdown, yakni: browsing, bermedia sosial, hingga menonton konten streaming. Lonjakan aktivitas itu membuat jalur internet menjadi sibuk dan kepayahan.
Di masa ketika interaksi fisik dinilai berbahaya bagi kemaslahatan, maka di situlah peran digital menjadi vital. Public restriction dijalankan, tetapi interaksi sosial dan ekonomi dijalankan melalui dunia digital, menjadi mirroring dari aktivitas bisnis as usual.Jika hal ini bisa dijalankan, maka penyebaran virus corona bisa ditekan dengan dampak ekonomi yang minimum. Dan ke depan, krisis corona meninggalkan legacy, berupa terbentuknya 'ekonomi dan masyarakat digital'. Saatnya bertindak cepat, Pak Jokowi. Jangan menunggu Indonesia jadi Italia yang selanjutnya.
(ags/tas)https://ift.tt/3bhEY9g
March 22, 2020 at 09:23AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Lawan Corona! Perluas Social Restriction, Dorong Digital Rush"
Post a Comment