Jakarta, CNBC Indonesia - Manajemen emiten tambang emas PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) menegaskan sangat membuka ruang dialog bagi para pihak dan warga masyarakat sekitar yang menuduh aktivitas tambang dua anak perusahaan di Gunung Salakan dan Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, bermasalah dan mengganggu lingkungan.
Pernyataan ini berkaitan dengan protes Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang mendesak Gubernur Jawa Timur Gubernur Jawa Timur, Khofiffah Indar Parawansa agar segera menindaklanjuti tuntutan warga untuk mencabut izin PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI), dua anak usaha Merdeka Copper Gold.
Aktivitas yang diprotes adalah eksplorasi di Gunung Salakan yang dilakukan DSI, bersebelahan dengan Gunung Tumpang Pitu yang sudah lebih dahulu digarap BSI.
Protes hanya ditujukan pada aktivitas di Gunung Salakan mengingat di Tumpang Pitu sudah produksi sejak 2017. Keduanya proyek ini masuk Proyek Tujuh Bukit di mana terdiri dari area seluas 4.998 hektare untuk Tumpang Pitu.
Sementara ekspansi ke Gunung Salakan ini punya luas konsesi tambang mencapai 6.558,46 hektare dengan mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dari Gubernur Jawa Timur pada 17 Mei 2018.
Corporate Communication Manager Merdeka Copper Gold Tom Malik menegaskan selama ini perseroan sudah melakukan aktivitas penambangan dan eksplorasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain itu, tak hanya memenuhi segala aspek hukum, sosial, dan keamanan, perseroan juga selama ini memberikan kontribusi yang signifikan kepada warga sekitar dan umumnya kepada ekonomi Kabupaten Banyuwangi.
"Sejauh ini kami sangat menerapkan standard tinggi untuk operasional, lingkungan, CSR [tanggung jawab sosial]. Kami sangat open [dengan warga dan Walhi]," katanya, kepada CNBC Indonesia, Selasa (3/3/2020).
"Sebenarnya masalah tambang ini [Salakan] sudah berjalan dari November 2019, karena kami akan melakukan eksplorasi [di Salakan], belum masuk tahap eksploitasi, lokasinya ada di wilayah di samping operasi kami yang lama [Tumpang Pitu], ini masih dalam IUP kami, cuma ada Desa Pancer, sebagian kecil masyarakat yang merasa terganggu, ada desa nelayan, dusun, di bukit di belakangnya itu banyak penambang liar," jelas Tom.
Dia menjelaskan di wilayah tersebut mengandung emas yang kaya sehingga secara tradisional banyak ditambang. Masalahnya, penambang liar ini menggunakan bahan merkuri sehingga beracun dan berdampak, mengingat ada yang dibuang seadanya limbah langsung ke alam termasuk ke sungai.
Menurut Tom, penolakan sebagian kecil warga dan disuarakan Walhi dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), bukan murni menolak tambang Merdeka Copper, melainkan soal mata pencaharian penambang liar yang terusik. Pihaknya juga sudah melakukan pendekatan kepada warga, bahkan datang ke tenda-tenda lokasi tempat protes tambang.
Hasilnya, berdasarkan pembicaraan dengan warga yang menolak, ternyata ada faktor ketergantungan warga kepada para sponsor yang selama ini mendanai mereka untuk menambang liar.
"Penolakannya bukan murni menolak tambang [DSI], ada orang orang yang mata pencaharian terusik. Padahal kami juga belum tentu eksploitasi di sana, ini juga baru eksplorasi awal secara geolistik, kayak sonar, untuk mengetahui kira-kira kandungannya seperti apa, lalu potensianya sebesapa besar, lalu dari sisi ekonomisnya, dan feasible juga dalam 2-3 tahun lagi itu juga baru diproduksi," kata Tom.
Bantah Tuduhan Walhi
Dalam kesempatan yang sama, Chief of External Affairs Merdeka Copper Gold Boyke Poerbaya Abidin membantah poin-poin yang dituduhkan Walhi dan Jatam. Boyke menyanyangkan apa yang dilakukan Walhi dan Jatam bukan advokasi masyarakat, melainkan provokasi.
"Kami sudah approach [pendekatan ke Walhi] ditolak, sampai 2 minggu lalu kami akhirnya membuat undangan terbuka [buat Walhi, Jatam dan LSM lain]. Kenapa undangan terbuka, karena selama ini kami sudah approach secara personal ke mereka gak pernah digubris, malah saat approach mengirimkan surat, kami malah jadi bahan meme, bahan olok-olok."
Pihaknya bahkan mengundang Walhi dan LSM lain untuk site visit atau mengunjungi tambang perusahaan agar bisa melihat langsung apa yang dituduhkan. MDKA, kata Boyke, menjadi perusahaan tambang asal Indonesia yang berani menggelar mind tour.
Dalam 2 tahun terakhir, sudah ada 3.500 orang mulai dari pejabat daerah, pengusaha, DPRD Aceh, Gubernur Sumut hingga ibu-ibu PKK yang ikut mind tour.
"Prinsip kami keterbukaan, silakan Walhi lihat sendiri tambang kami, kami kami bersalah tunjukkan, kami perbaiki. Buat kami, Merdeka ini investasi di sini tidak kecil, terlalu riskan investasi ratusan juta dolar AS ditutup begitu saja, malah kami punya rencana invest yang lebih besar di sana."
Lebih lanjut, Tom juga mengungkapkan berapa besar kontribusi perusahaan bagi pemerintah daerah. Pemkab Banyuwangi bahkan menjadi salah satu pemegang saham utama perusahaan dengan porsi 6,42%, bersama dengan pemegang saham utama lain seperti PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), Provident Capital, dan Garibaldi Thohir (Dirut PT Adaro Energy Tbk).
"Kepemilikan saham Pemkab Banyuwangi merupakan bentuk kontribusi kepada Merdeka Copper Gold untuk mendukung pembangunan Kabupaten Banyuwangi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Banyuwangi," katanya.
Berdasarkan laporan keuangan September 2019, saham Pemkab Banyuwangi yang diperoleh sebagai hibah (golden share) tersebut mencapai 229.000.000 saham. Maka dengan harga saham rata-rata MDKA pada Rabu ini (4/3/2020) Rp 1.295/saham, nilai saham Pemkab Banyuwangi setara dengan Rp 297 miliar, yang belum memperhitungkan pemecahan nilai nominal saham (stock split) yang dilakukan MDKA.
"Pemkab dari awal sampai saat ini, tercatat punya 1,15 miliar lembar saham, dilihat dari harga saham kami, maka nilainya mencapai Rp 1,3 triliun. APBN Banyuwngi saja Rp 3,4 triliun, jadi kebayang kalau Pemkab mau jual saham, itu dia dapet gratis Rp 1,3 triliu, itu golden share, waktu awal itu 10%, kan kita beberapa kali raise [naikkan] modal," kata Tom.
Dari sisi pembayaran pajak dan royalti dari MDKA kepada Banyuwangi juga besar.
"Dua minggu lalu kami dapat dapat penghargaan penyumbang pajak terbesar, hampir setengah pajak Banyuwagi dari BSI, ini pajak saja, belum lagi royalti," kata Tom.
"Sebesar Rp 700 miliar pajak saja, royalti kami hampir Rp 200 miliar, belum lagi income buat vendor-vendor lokal. Kami juga utamakan vendor dari Banyuwangi, itu Rp 85 miliar, terus CSR kami tahun lalu Rp 35 miliar, jadi memang kontribusi ke pertumbuhan ekonomi Banyuwangi signifikan."
Terkait dengan salah satu tuduhan Walhi soal potensi tsunami, Boyke menjelaskan pihaknya melakukan penambangan dengan ketinggian 380 meter di atas permukaan laut.
"Itu gunung yang kam tambang, penambangan 50 meter, kalau sampai penutupan tambang itu turun 100 meter, masih ada sisa 250, tsunami paling tinggi mengacu peristiwa sebelumnya itu sekitar 7 meteran, mega tsunami ratusan tahun lalu itu 100 meter. Kami juga ga akan nambang semua, kami tambang yang ada resources-nya."
Sebab itu, pihaknya secara terbuka membuka diri berkaitan dengan aktivitas perusahaan dan tidak menutup-nutupi apapun dari segi lingkungan, operasional dan lain-lain. Koordinasi dengan pemerintah dan para pemangku kepentingan juga terus dilakukan.
![]() |
Sebelumnya Walhi menegaskan keberadaan BSI dan DSI di wilayah tersebut diduga melanggar Pasal 40 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. BSI dan DSI juga diduga melanggar Perda No.1 Tahun 2018 tentang Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Hal itu sebab, alokasi ruang untuk pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi, terutama Kecamatan Pesanggaran, tidak untuk zona pertambangan, melainkan untuk zona pelabuhan perikanan, zona pariwisata, dan zona migrasi biota.
(tas/hps)https://ift.tt/2IjuYzC
March 04, 2020 at 10:23AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bantah Tuduhan Walhi, Merdeka Copper Buka Ruang Dialog"
Post a Comment