Search

Kala Rupiah Makin Perkasa dan Bantai 3 Mata Uang Kuat Dunia

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terus menguat sejak akhir pekan lalu. Penguatan rupiah pun terus berlanjut hingga akhir pekan ini dan bahkan membuat 3 mata uang lainnya babak belur.

Pada perdagangan awal pekan lalu (13/1/2020) pukul 9:00 WIB, rupiah menguat 0,47% ke level Rp 13.690/US$ melawan dolar AS. Capaian ini berada di level terkuat sejak Februari 2018.


Ternyata, tidak hanya menang melawan dolar AS saja, rupiah juga menang melawan nilai mata uang negara lainnya, yakni Singapura dan Australia.

Dolar Singapura juga kembali menjadi korban rupiah, hanya satu jam setelah pasar dalam negeri dibuka, dolar Singapura langsung melemah 0,31% ke level Rp 10.165,47/SG$, posisi tersebut merupakan yang terlemah dalam tiga bulan terakhir.

Di waktu yang sama, dolar Australia juga tertekan 0,21% di level Rp 9.468,07/AU$, yang merupakan level terlemah sejak Februari 2016, nyaris empat tahun terakhir.

Tidak hanya berjaya di awal pekan lalu, bahkan sepanjang pekan ini rupiah membukukan penguatan cukup signifikan, sebesar 0,91%. Berkat penguatan tersebut, rupiah memperpanjang rentang penguatan mingguan menjadi 7 pekan beruntun dengan total 3,33%.

Pada penutupan pasar spot hari Jumat (17/1/2020) memang melemah dari hari sebelumnya, tapi masih lebih kuat dari pembukaan awal pekan. Penutupan hari ini rupiah dibanderol Rp 13.630/US$ di pasar spot.


Adapun faktor penopang penguatan rupiah di sepanjang hari pekan ini adalah damai dagang dan data ekonomi.

Kesepakatan dagang fase I AS-China menjadi salah satu faktor utama terus menguatnya rupiah. Kesepakatan tersebut sudah diteken pada hari Rabu (15/1/2020) di Washington.

Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.

Selain itu, semua mengenai bea masuk kedua negara masih sama. AS masih mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, sementara China mengenakan bea masuk terhadap produk AS senilai US 110 miliar.

Meski damai dagang belum terjadi sepenuhnya, tetapi risiko eskalasi perang dagang kedua negara setidaknya sudah menurun dengan kesepakatan fase I. Pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa bangkit di tahun ini, yang membuat risk appetite pelaku pasar meningkat. Dampaknya, rupiah terus menguat.

Selain itu data dari dalam negeri juga mendukung penguatan rupiah. Bank Indonesia (BI) merilis data cadangan devisa Indonesia bulan Desember 2019 yang naik menjadi US$ 129,18 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat US$ 126,63 miliar. Cadangan devisa di bulan Desember tersebut sekaligus menjadi yang tertinggi sejak Januari 2018.

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,6 bulan impor atau 7,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," tulis BI dalam keterangannya, Rabu (8/1/2020) pekan lalu.

Dengan cadangan devisa yang meningkat, BI akan lebih leluasa menstabilkan nilai tukar rupiah ketika mengalami gejolak, sehingga investor akan merasa nyaman menanamkan modalnya di Indonesia.

Sementara kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan realisasi ekspor selama 2019, mencapai US$ 167,53 miliar atau turun 6,94% dari 2018 lalu yang mencapai US$ 180,01 miliar. Sementara total impor selama 2019, tercatat US$ 178,72 miliar atau turun 9,53% dibandingkan di 2018 yang sebesar US$ 188,71 miliar.

Sehingga neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 mengalami defisit US$ 3,2 miliar.

"Angka ini jauh lebih baik dari 2018 yang defisitnya US$ 8,6 miliar," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, Rabu (15/1/2020).

Selain itu BPS juga melaporkan persentase penduduk miskin pada September 2019 sebesar 9,22%, angka ini menurun 0,19% poin terhadap Maret 2019 dan menurun 0,44% poin terhadap September 2018.

Tak cuma angka kemiskinan yang turun, pada September 2019 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio juga turun. Gini Ratio pada September 2019 sebesar 0,380, turun 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 yang sebesar 0,382 dan menurun 0,004 poin dibandingkan dengan Gini Ratio September 2018 yang sebesar 0,384.

Sementara pada hari ini, data ekonomi China juga masih berdampak bagus pada sentimen pelaku pasar. Ekonomi China dilaporkan tumbuh 6% di kuartal IV-2019, sama dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya. Sepanjang tahun 2019, ekonomi China tumbuh 6,1% dan menjadi yang terendah dalam nyaris tiga dekade terakhir.

Namun pelambatan ekonomi China bukan suatu kejutan bagi pasar, hal tersebut sudah diprediksi oleh para analis setelah perang dagang dengan AS terjadi.

Pelaku pasar merespon data lain dari China, produksi industri dilaporkan tumbuh 6,9% year-on-year (YoY) di bulan Desember, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 6,2%. Investasi aset tetap tumbuh 5,4% naik dari bulan November 5.2%, dan penjualan ritel naik 8% di Desember.

Data-data tersebut menunjukkan ekonomi Tiongkok kembali bergeliat di penghujung 2019, dengan kesepakatan dagang fase I sudah diteken momentum pertumbuhan bisa bertambah lagi. Pelaku pasar pun semakin happy.

[Gambas:Video CNBC]

(sef/sef)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/360IqC9

January 18, 2020 at 03:52PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Kala Rupiah Makin Perkasa dan Bantai 3 Mata Uang Kuat Dunia"

Post a Comment

Powered by Blogger.