Otoritas bursa menyebut, suspensi perdagangan saham Bakrie Telecom pada 27 Mei 2019 lantaran perseroan telah memperoleh opini disclaimer selama dua tahun berturut-turut.
Oleh karena itu, BEI akan memanggil managemen dan komisaris perseroan untuk dengar pendapat (hearing) dalam hal ini jika Bakrie Telecom tidak menyampaikan paparan publik insidentil. "Hingga saat ini, Bursa saat ini belum menerima informasi dari BTEL terkait rencana penyelenggaraan PE Insidentil tersebut," kata Nyoman kepada CNBC Indonesia, Selasa (25/6/2019).
Menjawab hal ini, manajamen emiten telekomunikasi milik grup Bakrie, PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL) menyatakan bakal menggelar paparan publik insidentil dalam waktu dekat untuk membicarakan lebih lanjut mengenai perseroan yang hingga saat ini tak menentu. Artinya, BTEL tengah berupaya bangkit dari 'tidur' panjangnya.
"BTEL akan melakukan Public Expose dalam waktu dekat sesuai peraturan yang berlaku," kata Direktur Utama Bakrie Telecom, Harya Mitra Hidayat kepada CNBC Indonesia, Selasa (25/6/2019).
Di bawah manajemen yang baru, perusahaan dengan kode saham BTEL ini masih fokus pada beberapa prioritas terkait pengembangan bisnis yang saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi Bakrie Telecom.
Harya menjelaskan, prioritas pertama adalah menyelesaikan konversi Obligasi Wajib Konversi (OWK) sesuai ketetapan homologasi di penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
"Selanjutnya menyelesaikan restrukturisasi utang internasional, mengoptimalkan bisnis telekomunikasi support service seperti voice solution dan call/contact centre serta manage service lainnya," jelas dia.
Selanjutnya, mengenai keberlangsungan usaha (going concern) Bakrie Telecom ke depan, mengacu laporan keuangan perseroan pada 31 Desember 2018, Kantor Akuntan Publik BTEL berpendapat bahwa Perseroan belum memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), sebab saat ini kegiatan operasional BTEL telah terhenti.
Data BEI menunjukkan, saham BTEL sudah disuspensi sebanyak 7 kali dari 2016 hingga 2019. Terkait kegiatan operasional, Perseroan membukukan penurunan drastis pada pendapatan sejak tahun 2016. Saham BTEL diperdagangkan terakhir di level Rp 50/saham, dengan kapitalisasi pasar Rp 1,84 triliun dan 5 tahun terakhir saham ini tidak lagi diperdagangkan investor, alias saham tidur.
Utang Menggunung
Bakrie Telecom memang memiliki sejumlah anak usaha yang masih beroperasi, namun utang perseroan yang menggunung tak mampu membuat perusahaan ini lepas dari nestapa.
Utang perusahaan juga menggelembung, di mana total utang yang awalnya hanya sekitar Rp 7,16 triliun pada 2010 menjadi Rp 16,13 triliun di tahun 2018. Kondisi ini mengkhawatirkan karena seiring bertambahnya hutang perusahaan, nilai ekuitas lama-lama menjadi negatif.
Secara operasional, perseroan hingga 2018 tercatat masih membukukan pendapatan Rp 8,53 miliar. Sementara rugi perseroan pada 2018 tercatat mencapai Rp 720,57 miliar, turun dari Rp 1,20 triliun pada 2017.
Mengacu laporan keuangan BTEL, perusahaan mencatatkan nilai buku ekuitas negatif sejak tahun 2013. Sebagai informasi, jika nilai buku ekuitas suatu perusahaan sudah negatif lebih dari 3 tahun berturut-turut sudah merupakan indikasi adanya financial distress atau kesulitan keuangan.
Kesulitan keuangan yang dialami perusahaan juga akhirnya memaksa perusahaan melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah karyawan.
Jumah karyawan perusahaan yang di tahun 2010 tercatat sebanyak 1.901, per akhir tahun 2018 hanya tersisa 10 orang.
(hps/hps)
https://ift.tt/2J7xqJF
June 26, 2019 at 03:57PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Nasib Bakrie Telecom dan Harga Saham yang "Tidur Pajang""
Post a Comment