Search

Rupiah ke 15.000/US$? Sepertinya Tak Perlu Tunggu Akhir Tahun

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali menguat melawan dolar AS pada perdagangan Selasa (14/4/2020) kemarin, meski tipis tapi cukup memperpanjang kinerja impresif sejak pekan lalu. Rupiah hari ini mengakhiri perdagangan di level Rp 15.610/US$ atau menguat 0,06% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Mata Uang Garuda pun kini semakin dekat dengan Rp 15.000/US$, yang menjadi "target" Bank Indonesia di akhir tahun ini.

"Bahwa kami memandang rupiah yang sekarang undervalue, memadai karena memang risiko global lagi tinggi dan ke depannya akan cenderung stabil bahkan menguat karena akan ada portfolio inflow yang lebih besar," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, Kamis (2/4/2020).


"Dengan langkah bersama kami yakin nilai tukar rupiah tidak hanya stabil tapi bahkan menguat di Rp 15.000 di akhir tahun ini," kata dia.

Tidak hanya sekali, tetapi Gubernur Perry berkali-kali menegaskan rupiah akan berada di level Rp 15.000/US$ di akhir tahun.

Melihat pergerakan rupiah belakangan ini, rasa-rasanya tidak perlu menunggu sampai akhir tahun level tersebut bisa dilewati.

Total sejak pekan lalu hingga Selasa kemarin, rupiah mencatat penguatan nyaris 5%. Sentimen pelaku pasar yang sedang bagus membuat rupiah menguat tajam kemarin. Penyebaran pandemi virus corona (COVID-19) yang mulai melambat memunculkan harapan segera berakhirnya masa karantina di beberapa wilayah/negara. Dengan begitu diharapkan roda perekonomian kembali berputar.

Meski di beberapa wilayah kembali mengalami peningkatan, tetapi secara global berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) penambahan jumlah kasus secara penambahan jumlah kasus COVID-19 sudah satu digit persentase sejak 30 Maret lalu. Terbaru, pada 13 April terjadi penambahan kasus 4,51% sehingga total menjadi 1,77 juta kasus. Persentase penambahan tersebut merupakan yang terendah sejak 11 Maret.

Penyebaran di Eropa yang merupakan episentrum COVID-19 sudah mengalami penurunan signifikan, dan aktivitas ekonomi berangsur pulih. CNBC International melaporkan Italia dan Spanyol, mulai mencabut beberapa larangan pembatasan aktivitas warganya setelah jumlah kasus baru serta korban meninggal akibat COVID-19 terus menurun.

Spanyol sudah mengijinkan beberapa aktivitas konstruksi bekerja kembali, begitu juga dengan pabrik-pabrik sudah mulai beroperasi sejak hari Senin. Sementara itu Italia mulai mengijinkan beberapa usaha untuk kembali beraktivitas hari ini.

Tidak hanya itu, negara dengan nilai perekonomian terbesar di Benua Biru, Jerman, juga mempertimbangkan langkah-langkah secara bertahap menuju aktivitas normal.

Berdasarkan data CEIC, Spanyol hari ini melaporkan penambahan kasus sebanyak 3.477 kasus, menjadi yang terendah sejak 20 Maret. Italia melaporkan 3.153 kasus, terendah sejak 15 Maret, dan Jerman melaporkan 2.082 kasus terendah sejak 19 Maret.

Ketika pandemi berhasil dihentikan, niscaya perekonomian akan segera bangkit. China, negara asal virus corona sudah membuktikan hal tersebut. China sudah sukses meredam penyebaran virus corona, meski kini sedang menghadapi penyebaran dari kasus "impor" atau orang-orang yang datang ke China dari luar negeri, tetapi jumlahnya tidak signifikan dibandingkan penyebaran lokal yang terjadi sejak awal tahun. Akfivitas ekonomi Negeri Tiongkok pun berangsur-angsur pulih kembali.

Akhir Maret lalu, Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China di bulan Maret dilaporkan sebesar 52, melesat dibandingkan bulan Februari 35,7.
Indeks PMI di atas 50 berarti sektor manufaktur sudah kembali berekspansi di bulan ini. Sementara di bawah 50 berarti kontraksi.

Kemudian, data neraca perdagangan Negeri Tiongkok yang dirilis Selasa kemarin memberikan gambaran yang sama. Ekspor dan impor Negeri Tiongkok memang masih menunjukkan penurunan, tetapi tidak seburuk prediksi.

Ekspor China denominasi dolar AS pada bulan Maret turun 6,6% year-on-year (YoY) jauh lebih baik dibandingkan prediksi Reuters yakni penurunan sebesar 14% YoY. Sementara impor pada periode yang sama turun 0,9% YoY, lebih bagus daripada prediksi penurunan 9,5% YoY.

Akibatnya neraca dagang China mengalami surplus US$ 19,9 miliar, lebih tinggi ketimbang prediksi US$ 18,55 miliar.

Untuk denominasi yuan, ekspor hanya turun 3,5%, sementara impor naik 2,4%, sehingga neraca perdagangan denominasi yuan surplus 139 miliar yuan.
Rilis data yang lebih baik dari prediksi menunjukkan roda perekonomian China mulai berputar kembali pasca dihantam pandemi virus corona (COVID-19).
 

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2K9u4Xi

April 15, 2020 at 07:20AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Rupiah ke 15.000/US$? Sepertinya Tak Perlu Tunggu Akhir Tahun"

Post a Comment

Powered by Blogger.