
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertahan di zona merah sepanjang hari hingga ditutup terkoreksi 0,34% 6.351, terutama terbebani oleh sektor pertambangan dan barang konsumsi.
Di sisi lain, sektor yang kemarin menjadi penahan koreksi adalah aneka industri dan perkebunan. Koreksi di Bursa Efek Indonesia itu searah dengan memerahnya sebagian besar pasar saham Asia lain.
Selain mencerminkan ketegangan antara China dan Hong Kong yang semakin memanas, koreksi yang terjadi di indeks Shanghai Composite 2,58% juga terbebani oleh sentimen negati dari data tenaga kerja AS.
Data tenaga kerja non-pertanian (non-farm payroll) tersebut menunjukkan bahwa masih terjadi penambahan angka angkatan kerja sebanyak 224.000 orang sepanjang Juni, di atas ekspektasi pasar yang keburu memprediksi hanya ada penambahan 160.000 orang.
Karena pasar keuangan didasari oleh ekspektasi, data tenaga yang manis bagi ekonomi AS tersebut justru berbisa bagi pelaku pasar yang berharap jika data-data penting ekonomi Negeri Paman Sam memburuk maka The Fed, bank sentral mereka, akan dipaksa menurunkan suku bunga.
Suku bunga begitu penting sekarang ini di AS karena selain diperlukan untuk menyenangkan yang mulia Presiden AS Donald Trump, pasar berharap aksi penurunan acuan pasar keuangan global itu akan diikuti juga oleh negara-negara lain yang likuiditasnya juga sedang tiris, salah satunya Indonesia.
Dengan adanya penurunan Fed Fund Rate, suku bunga acuan AS, maka bank sentral negara-negara lain tidak bisa 'ngeles' lagi dari ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi dan mengikuti langkah moneter negara adidaya AS tersebut.
Dampak dari keluarnya data tenaga kerja tersebut adalah keyakinan pasar terhadap turunnya suku bunga the Fed. Data CME Fedwatch menunjukkan ekspektasi pelaku pasar dunia terhadap penurunan Fed Fund Rate 25 basis poin (bps) pada 31 Juli nanti turun dari 95,1% pekan lalu menjadi 93%.
Besaran 100 bps setara 1%. Meskipun demikian, probabilitas penurunan Fed Fund Rate hingga pergantian tahun sebanyak 125 bps kembali meningkat menjadi 11,2% dari posisi akhir pekan lalu.
Pergerakan survei suku bunga itu juga mencerminkan bahwa pasar semakin khawatir dengan kondisi AS yang dianggap di ambang resesi.
Resesi tersebut juga tercermin di pasar keuangan dari lamanya inversi obligasi pemerintah AS yaitu US Treasury tenor 3 bulan dan 10 tahun yang berlangsung lebih dari 30 hari, tepatnya 31 hari dan dengan besaran yang sudah menembus di atas kepala dua atau di atas 20.
Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi yang terjadi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang mulai terjadi pada awal tahun tetapi timbul dan tenggelam, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat, dibanding inversi tenor lain.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang.
Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Di pasar obligasi, prediksi pelaku pasar terhadap kemungkinan resesi di AS dan negara ekonomi maju lainnya telah membuat harga obligasi di negara-negara maju naik signifikan di pasar, dan menekan tingkat imbal hasilnya (yield) di pasar, termasuk surat utang negara (SUN) rupiah domestik.
Namun, kemarin koreksi yang terjadi di pasar keuangan global dan domestik akibat data tenaga kerja AS seakan menyetop reli harga SUN yang relatif terjadi terjadi beruntun sejak 31 Mei, yang momentumnya juga bertepatan dengan lelang sukuk negara hari ini (9/7/19).
Koreksi IHSG dan pasar obligasi kemarin juga diiringi dengan melemahnya rupiah, meskipun koreksi tidak besar yaitu 0,17% menjadi Rp 14.105 per dolar AS dari posisi akhir pekan lalu Rp 14.080 per dolar AS.
Berlanjut ke halaman 2 >> (irv/irv)
https://ift.tt/2XAzhR8
July 09, 2019 at 02:16PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Investor, Hati-Hati Ya dengan Efek Lanjutan Tenaga Kerja AS"
Post a Comment