Kenaikan tarif listrik dan harga BBM disebut-sebut sebagai contoh kemungkinan dari kebijakan 'gila' tersebut.
Jika ditarik mundur, penyesuaian tarif listrik memang sudah tidak lagi dilakukan sejak 2017. Terakhir, pemerintah melakukan tariff adjustment dan menaikkan tarif listrik pada Juli 2017.
Seperti diketahui, rumah tangga mampu dengan daya 900 VA (R-1/900 VA-RTM) sedianya termasuk diterapkan tariff adjustment atau mengikuti keekonomian.
Waktu itu, penyesuaian tarif direncanakan dilakukan bertahap, yaitu pada 1 Januari 2017, 1 Maret 2017, 1 Mei 2017 dan pada 1 Juli 2017. Namun, kemudian pemerintah memutuskan untuk menahan tarif listrik tidak naik untuk semua golongan termasuk non-subsidi, mulai Juli 2017.
Bahkan, tarif listrik rumah tangga mampu golongan 900 VA diberikan diskon sebesar Rp 52/kWh sejak 1 Maret 2019 menjadi Rp 1.300/kWh. Sedangkan, golongan rumah tangga 1.300 VA ke atas tarif diberlakukan sebesar Rp 1.467,28/kWh.
Sementara itu, untuk tarif listrik golongan pelanggan 450 VA dan 900 VA masih diberikan subsidi listrik masing-masing Rp 415/kWh dan Rp 605/kWh. Total pelanggannya sekitar 29 juta.
Adapun, berdasarkan data Kementerian ESDM, sampai dengan Mei 2019 ini tarif tenaga listrik (TTL) di Indonesia masih lebih murah dibanding Thailand (Rp 1.656/kWh), Filipina (Rp 2.437/kWh) dan Singapura (Rp 2.546/kWh).
Sementara untuk harga BBM, di 2016, seiring dengan turunnya harga minyak dunia, Presiden Jokowi menurunkan harga BBM sebagai bonus tahun baru. Harga bensin premium turun jadi Rp 7.150 untuk wilayah Jakarta dan di luar Jawa menjadi Rp 6.950 per liter. Sementara Solar Rp 5.950 per liter.
Foto: Pengendara mengisi BBM di Salah satu SPBU, Kuningan, Jakarta, Minggu (10/2). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
|
Lalu, ketika pertengahan 2016, harga bensin kembali diturunkan oleh Jokowi. Untuk Premium menjadi Rp 6.550 per liter dan Solar Rp 5.150 per liter.
Sejak saat itu, harga Premium dan Solar belum ada kenaikan lagi meskipun harga minyak sempat merangkak dan menyentuh level US$ 77 per barel.
Pada Oktober 2018, isu kenaikan harga BBM mengencang. Bahkan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sempat mengumumkan rencana kenaikan harga bensin tersebut, meski satu jam kemudian dibatalkan.
Tahun politik disebut-sebut momen sensitif untuk kebijakan menaikkan harga BBM, meskipun beban keuangan negara semakin menumpuk dengan bengkaknya subsidi. Begitu pula dengan keuangan BUMN yang ditugaskan untuk mendistribusi bahan bakar ini.
Kini, momen politik sudah rampung. Beranikah Jokowi menaikkan harga bahan bakar minyak?
Seakan memberi gambaran, Kantor Staf Presiden (KSP) angkat bicara tentang kebijakan gebrakan yang siap untuk diambil Jokowi.
"Kita tahu bahwa Pak Jokowi mengatakan kalau itu 'gila' tapi bermanfaat buat masyarakat, ini dikaitkan dengan tidak adanya periode ketiga, yang tidak populis pun diambil. Tapi ini untuk masyarakat," ujar Denni Puspa Purbasari, Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP.
Kebijakan yang bersifat populis seringkali mengacu pada kebijakan yang disenangi rakyat banyak karena terlihat membela kepentingannya dengan melawan sekelompok elit. Sebaliknya, dalam banyak kasus, kebijakan non-populis dianggap mengorbankan kepentingan rakyat banyak dan menguntungkan segelintir pihak.
Denni mencontohkan, salah satu kebijakan non-populis yang sempat diambil oleh Jokowi adalah menaikkan harga BBM pada 2014. Tidak sampai 2 bulan setelah dilantik, Jokowi langsung menaikkan harga bensin jenis Premium dari Rp 6.500/liter menjadi Rp 8.500/liter.
Kenaikan harga BBM tentu saja akan membuat banyak rakyat tidak senang sebab akan langsung berdampak pada daya beli masyarakat. (tas)
https://ift.tt/2FOFkXn
July 03, 2019 at 03:25PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Politik Udah Kelar nih, Beranikah Jokowi Naikkan Harga BBM?"
Post a Comment