Dia menjelaskan, satuan biaya angkut per kursi per penumpang tidak pernah direvisi, bahkan sejak 2014 alias 5 tahun lalu. Sementara itu, dalam lima tahun tersebut biaya operasional maskapai sudah banyak mengalami kenaikan, baik dari harga avtur, nilai tukar rupiah, biaya fasilitas dan jasa bandara, hingga gaji pegawai.
Akibatnya, dengan aturan saat ini, maskapai penerbangan tak lagi memiliki fleksibilitas untuk menetapkan harga tinggi saat ramai (peak season) dan subsidi silang dengan menjual tiket murah saat sepi (low season).
"Sekarang dengan pemerintah menurunkan batas atas, ini tidak akan menolong karena yang turun hanya TBA, sedangkan satuan biaya angkut per kursi per km-nya tidak naik. Ruang gerak maskapai untuk mencari untung semakin tipis," kata Alvin di kantor Ombudsman, Kamis (23/5/2019).
Alvin mencontohkan, ketika saat ini harga tiket pesawat Rp 1 juta, kemungkinan turun sebesar 15% maksimal hanya menjadi Rp 850 ribu. Adapun sebelumnya saat tarif tiket masih fleksibel, harganya mungkin saja turun hingga Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu.
"Apa yang terjadi saat ini justru maskapai mulai mengurangi frekuensi penerbangan ke kota-kota kecil yang jumlah penumpangnya tidak banyak atau bahkan menghentikan sama sekali rute itu untuk menutup rugi mereka," jelasnya.
Alvin mengaku dirinya sudah memberi saran kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi untuk menaikkan satuan biaya angkut per kursi per penumpang.
"Memang dalam jangka pendek batas atasnya akan naik, tapi dalam jangka panjang maskapai akan punya fleksibilitas lagi," pungkasnya.
[Gambas:Video CNBC] (miq/miq)
http://bit.ly/2K0coia
May 24, 2019 at 11:50AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "'Penurunan Tarif Batas Atas Tiket Pesawat tak akan Menolong'"
Post a Comment