Pada perdagangan hari Jumat (31/5/2019) pukul 08:15 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak pengiriman Juli amblas 1% ke level US$ 66,2/barel. Sementara harga light sweet (WTI) anjlok 1,15% menjadi US$ 55,94/barel. Pada posisi tersebut harga Brent berada di titik terendah sejak 3 Maret 2019, sedangkan WTI terendah sejak 1 Maret 2019.
Padahal kemarin (30/5/2019) harga Brent dan WTI juga sudah ambrol masing-masing sebesar 3,71% dan 3,37%.
Pekan ini Brent dan WTI juga sedang menuju pelemahan mingguan masing-masing 3,62% dan 4,59% secara point-to-point.
Faktor utama yang menggiring harga minyak ke bawah adalah tensi perang dagang Amerika Serikat (AS) China yang semakin tinggi.
"Kami menentang perang dagang tapi tidak takut dengan perang dagang. Dengan sengaja memprovokasi perselisihan semacam ini merupakan "terorisme ekonomi, chauvinisme ekonomi, penindasan ekonomi," ujar Wakil Menteri Luar Negeri China, Zhang Hanhui, kepada wartawan di Beijing, seperti yang dilansir dari Reuters, Kamis (30/5/2019).
Ujaran tersebut seakan mengisyaratkan bahwa damai dagang AS-China hanya tinggal harapan kosong. Kedua negara sepertinya masih belum sudi untuk melanjutkan perundingan.
Apalagi dalam dua minggu terakhir, China telah memberi sinyal akan menggunakan posisi dominannya sebagai produsen "rare earth" dalam perang dagang. Sebagaimana diketahui, rare earth merupakan sekelompok 17 unsur kimia yang digunakan dalam berbagai industri, julai dari elektronik berteknologi tinggi hingga peralatan militer.
Hingga saat ini 80% rare earth yang masuk ke AS berasal dari China.
Harian China Daily juga menulis "pejabat pemerintahan China menegaskan kembali bahwa mereka memiliki 'toolbox' yang cukup besar untuk memperbaiki masalah yang mungkin timbul ketika ketegangan perdagangan meningkat, dan siap melawan balik dengan cara apapun," pada hari Kamis (30/5/2019).
"Eskalasi perang dagang AS-China merepresentasikan risiko pada pasar minyak," tulis Bernstein Energy dalam sebuah catatan, mengutip Reuters, Kamis (30/5/2019).
Menambah beban, Energy Information Administration (EIA) kemarin mengumumkan stok minyak AS untuk minggu yang berakhir pada 24 Mei 2019 hanya turun 300.000 barel saja. Jumlah yang lebih kecil dibandingkan prediksi konsensus Reuters yang sebesar 900.000 barel.
Pada posisi 476,5 juta barel, stok minyak terpantau masih lebih tinggi 5% dibanding rata-rata lima tahun.
Padahal di AS saat ini sudah mau memasuki libur musim panas, dimana permintaan bahan bakar minyak (BBM) akan mencapai puncaknya. Sebagai informasi, biasanya saat musim panas penduduk AS gemar bepergian dengan mobil.
Hal tersebut membuat pelaku pasar makin khawatir akan serapan pasokan minyak. Apalagi saat ini produksi minyak AS kian melimpah, dimana sejak awal tahun 2018, sudah meningkat lebih dari 2 juta barel ke posisi 12,2 juta barel/hari.
Namun pasokan minyak dari Timur Tengah yang semakin seret masih mampu menahan laju pelemahan harga.
Berdasarkan dara Refinitiv, ekspor minyak Iran pada bulan Mei anjlok menjadi tinggal 400.000 barel/hari. Tampaknya sanksi yang diberikan oleh AS mampu untuk membuat Iran sulit melepas hasil produksi minyaknya ke pasar.
Sebelum adanya sanksi AS, ekspor minyak Iran bisa mencapai 2,5 juta barel/hari. Setidaknya Negeri Persia butuh mengekspor 1,5-2 juta barel.hari untuk menyeimbangkan neraca migasnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/hps)
http://bit.ly/2JNdQ8b
May 31, 2019 at 03:32PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Dampak Perang Dagang , Harga Minyak Terendah Sejak Maret 2019"
Post a Comment