Search

Jakarta Kota Orang Malas Jalan Kaki, Benarkah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekerja kantoran, muda-mudi, orang tua, sampai anak-anak lalu-lalang di sepanjang trotoar Thamrin-Bunderan HI. Ada yang terburu-buru mengejar meeting dengan kolega sampai berwisata ke Kota Tua. Hiruk pikuk pejalan kaki di sana menyimpan beragam cerita yang berbeda tiap individunya.

Ada yang datang dari Kemayoran yang ikut menjadi pejalan kaki karena regulasi ganjil-genap kendaraan roda empat. Sebagai pejalan kaki ia merasa terbantu dengan jadwal kedatangan TransJakarta yang sudah cepat.

Gustiawan, seorang pekerja swasta berumur 51 tahun masih selang-seling menjadi pejalan kaki. Karena plat mobilnya tidak memiliki nomor genap. Adanya peraturan ganjil-genap menurut Gustiawan merubah kultur masyarakat untuk menjadi pejalan kaki. Walaupun belum menjadi pejalan kaki sepenuhnya.


Ia meyakini bahwa warga Jakarta masih banyak yang malas berjalan kaki karena iklim yang panas dan tempat pedestrian yang belum banyak menfasilitasi pejalan kaki. Trotoar di Jakarta tidak semua secantik di Thamrin, masih banyak yang jelek dan berukuran kecil.

Belum lagi para pengendara mobil/motor yang masih belum respect pada para pejalan kaki. Saat menyeberang misalnya, para pejalan kaki kerap kena semprot klakson dari kendaraan bermotor.

Pada tahun 2017, Indonesia pernah tercatat sebagai negara yang malas berjalan kaki di dunia. Dalam penelitian yang digarap oleh peneliti asal Stanford yang terbit di Jurnal Nature. Riset menunjukkan bahwa Hong Kong menepati urutas teratas sebagai negara dengan penduduk yang rajin jalan kaki dengan rata-rata langkah 6.800 tiap harinya.

Sedangkan Indonesia hanya menepati 3.513 langkah tiap harinya. Bahkan angka itu tidak setara degan rata-rata jumlah jalan kaki penduduk dunia yang mencapai 4.961 per hari. Penelitian itu diyakini benar oleh para pedestrian yang berlalu lalang di kawasan Thamrin pada reportase yang dilakukan CNBC Indonesia.

Satria, seorang pegawai agency advertising mengeluhkan trotoar dan penyeberangan yang minim. Kerap kali Satria berangkat dari rumahnya di Bintaro lalu turun di Stasiun Kebayoran lama ia sulit menemukan jalur khusus pejalan kaki.

Saya biasanya turun di stasiun Kebayoran Lama dari Bintaro. Mau lanjut lagi Transjakarta ke arah Pasar Minggu nggak ada fasilitas jalanya. Saya kan nembusnya ke jalan Iskandar Muda dari stasiun harus lewat kampung-kampung. Dan saat nyeberang jalan raya Arteri Pondok Indah arus mobilnya kencang. Memang disediakan tombol untuk lampu penyeberangan di zebra cross. Tapi kadang pengendara enggan berhenti dan tidak mau ngalah," ucap Satria pada CNBC Indonesia (4/4/2019).

Pria berumur 28 tahun itu juga menjelaskan bahwa menjadi pejalan kaki dapat memangkas ongkos transportasi selama satu bulan dibanding mengendarai kendaraan pribadi. Satu bulan, dengan naik tranportasi umum ia hanya mengeluarkan 400 - 500 ribu dalam satu bulan.

Namun Satria mengeluhkan hal detil yang kerap kali hadir bagi pejalan kaki. Yakni trotoar yang dibuat tidak landai. Tidak ada ramp antara jalanan dan trotoar, membuatnya harus melangkahkan kaki agak tinggi dan itu merepotkanya.

Pemerintah menurut Satria perlu memperhatikan kenyamanan pejalan kaki hingga hal yang paling detil. Pembangunan ramp dirasanya dapat membantu para pejalan kaki.

Kultur Jadi Faktor Malas Jalan Kaki

Tidak terbiasa jalan kaki dan terbiasa dengan fasilitas transportasi yang memadai menurut Dwitya menjadi kunci penting malasnya orang jalan kaki.

"Budaya, menurut saya kita dari kecil nggak dibiasakan untuk jalan kaki. Kita jadinya males. Kalo orang luar kan udah terbiasa. Emang nggak dibiasakan dari kecil. Selain itu kenyamanan pasti, kita jalan di Jakarta debu macet udah biasa. Tapi balik lagi ke orangnya, kalo lingkunganya udah mendukung untuk itu saya percaya mereka akan berubah," ucap Dwitya pada CNBC Indonesia (4/4/2019).

Dwitiya tidak menyalahkan para orang tua, menurutnya tidak bisa jika dilihat dari salah satu sisi saja. Karena mungkin para orang tua juga tidak terbiasa berjalan kaki. Namun ajaran yang kental adalah ada hal-hal yang menjadi paranoid bagi seorang pejalan kaki. Budaya yang terbentuk ialah para pejalan kaki harus terus berhati-hati. Apalagi jalan di malam hari.

Sepertinya kultur yang diajarkan para orang tua pun ada maksud baiknya. Ika, seorang penulis freelance pernah mengalami hal pahit saat menjadi pejalan kaki saat trotoar Sudirman tidak sebagus sekarang. Mulai diklakson pengendara motor hingga ditodong.

"Saat trotoar tidak sebagus sekarang di kawasan Sudirman saya diklaksonin oleh pengendara motor sementara itu jalur pedestrian. Harusnya digunakan oleh pejalan kaki. Begitu saya tidak mau minggir karena di klakson, saya menyatakan hak saya malah dimaki-maki dengan kata kasar. Saya juga pernah ditodong pada malah hari di Tosari," kata Ika pada CNBC Indonesia (4/4/2019).

Pandangan kultur mengapa orang malas jalan kaki ditanggapi oleh Founder Koalisi Pejalan Kaki, Ahmad Syafrudin. Pemerintah pusat maupun kota saat ini mengabaikan hak pejalan kaki. Padahal menurutnya trotoar sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda di berbagai daerah.

Sebuah jalan raya sudah pasti ada jalur kendaraan bermotor, jalur pemisah yang biasanya dilengkapi dengan green zone, jalur kendaraan non-motor (sepeda/becak), dan trotoar. Namun, khusus Jakarta pada era visi misi tahun 1997 disebutkan bahwa Kota Jakarta harus berkembang dan setara dengan kota besar yang serba mekanis. Itu lah yang menjadi biang perubahan kultur dan menyebabkan orang malas jalan kaki menurut Ahmad.

"Serba mekanis itu mengesankan bahwa semua serba mesin. Akhirnya di era itu trotoar banyak hilang. Jalan raya ya langsung pagar gitu. Tapi gada trotoar hampir kaya gitu. Dan akhirnya hampir seluruh kota Jakarta dibangun seperti itu. Yang punya trotoar itu hanya Monas, Menteng, Kebayoran Baru, Sudirman, dan Thamrin," ucap Ahmad di Kantor Koalisi Pejalan Kaki di Sarinah, Jakarta Pusat (4/4/2019).

Ahmad meyakini bahwa ada perubahan di zaman pemerintahan Bang Yos untuk memperbaiki dan menjangkau trotoar ke luar daerah utama yang ia sebutkan. Namun, catatan Koalisi Pejalan Kaki menyebutkan bahwa trotoar di Jakarta hanya 430 km dari 7000 ruah jalan di DKI Jakarta.

Maksud pemerintahan menuju mekanis ditangkap oleh Ahmad mengesampingkan aspek-aspek non-motorize. Transportasi becak dan pejalan kaki tidak dikembangkan. Sekarang, masyarakat masih ketergantungan pada kendaraan bermotor. Untuk pergi ke mushola/warung yang berjarak 100 m saja menggunakan sepeda motor.

"Coba dibongkar visi misi pembangunan Jakarta tahun 97. Mungkin tidak sadar bahwa itu membentuk kultur malas jala kaki. Bahkan hal lain seperti makian juga kerap datang ke pejalan kaki. Pengendara nggak mau kasih kesempatan nyebrang malah memaki. Dalam 20 tahun menjadi kultur bahwa kemana-mana maunya naik kendaraan bermotor," ucap Ahmad.

(dru)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2G6yCN6

April 07, 2019 at 05:55PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Jakarta Kota Orang Malas Jalan Kaki, Benarkah?"

Post a Comment

Powered by Blogger.