Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli menjadi salah satu pihak yang mempertanyakan gelar bendahara negara terbaik di Asia Pasifik. Terbaru, kritik datang dari Gede Sandra.
Analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat itu mempertanyakan gelar yang disabet Sri Mulyanj, lantaran pengelolaan kas keuangan negara di tangan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu tak sebaik yang disebutkan.
Misalnya, dari pengelolaan surat utang, di mana di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, bunga atau imbal hasil (yield) surat utang yang ditetapkan menjadi yang paling tinggi di antar negara-negara kawasan Asia.
"Surat utang kita tertinggi, bunganya 8%. Artinya kita bisa rugi karena mesti membayar utang lebih mahal dari negara-negara di kawasan," kata Gede melalui keterangan resmi.
"Misalnya, Vietnam. Itu [yield surat utang] 4,8%. Kalau dibandingin dengan tenor kita 10 tahun, maka kita mesti bayar lebih mahal 135%," jelasnya.
Tak hanya persoalan tingkat imbal hasil, Gede juga mengkritisi rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) tax ratio Indonesia yang hanya berkisar 10-11%, kalah dari Vietnam 13,8%, Thailand 17%, dan Filipina 14,4%.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti pun angkat bicara, dan memberikan pandangan langsung terhadap pernyataan yang disampaikan oleh Gede Sandra.
"Beredar tulisan Gede Sandra yang mengkritik penobatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi Menteri Keuangan terbaik Asia Pasifik 2019 versi FinanceAsia."
Berikut penjelasan lengkap Nufransa, seperti dikutip Senin (8/4/2019) :
Selain Gede Sandra, ada juga tokoh nasional yang tidak senang dengan penghargaan kepada Menkeu ini. Cukup mengherankan mengapa kalau ada penghargaan internasional, ada pihak yang justru mencari-cari alasan dan kesalahan untuk melemahkan kita sendiri?
Mental seperti itu adalah mental inferior dan pecundang. Mental seperti ini menjadi penghambat terbesar kemajuan Indonesia.
Dalam memberikan penilaian, lembaga tersebut tentu melihat kinerja Menteri Keuangan secara menyeluruh dan analisis yang mendalam atas keberhasilan beliau mengelola keuangan negara, tidak hanya sepotong-sepotong yang dilakukan dengan analisis yang tidak tepat.
Contohnya, lembaga FinanceAsia dalam penghargaannya juga menyebutkan keberhasilan pengelolaan defisit APBN yang menurun tajam dan global Green sukuk.
Penurunan defisit APBN secara tajam menggambarkan kemampuan kita mengelola global volatility untuk makin memperkuat dan menyehatkan APBN.
Dan sekaligus menjaga perekonomian Indonesia dari gejolak agar tetap stabil dan tetap kredibel. Ini sangat kontras dengan negara emerging seperti India, Turki , Brazil yang menjelang pemilu dan dalam situasi gejolak global menyebabkan kondisi APBN makin besar defisitnya. Itu tanda Indonesia prudent dan efektif serta fleksibel. Dan tentu saja kita menjadi berdaya tahan tinggi dalam goncangan ekonomi.
Sedangkan global Green Sukuk juga menunjukkan kreativitas financing dan kepedulian kita mengenai masalah climate change. Ini menunjukkan pemikiran kreatif dan memperlebar investor base dari Government bonds.
Tulisan Gede Sandra mengkritik penghargaan diberikan kepada Menteri Keuangan, padahal masih ada masalah ekonomi yang dihadapi Pemerintah yaitu tingkat suku bunga utang Pemerintah, penerimaan pajak yang rendah, defisit neraca perdagangan, dan Net International Investment Position yang negatif.
Terkait tulisan Gede Sandra tersebut, berikut ini beberapa tanggapannya:
1. Yield Surat Utang
Pak Gede perlu tahu bahwa penentuan besar kecilnya yield (bunga) obligasi negara (Surat Utang Negara/SUN) sebagai instrumen pasar keuangan tidak dapat ditetapkan oleh seseorang maupun institusi. Penentuan yield SUN dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain supply dan demand, sentimen pasar domestik maupun global, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan ekonomi makro.
Setelah berkali-kali dijelaskan, Gede Sandra tetap saja salah dalam melakukan analisis kerugian dengan hanya membandingkan _yield_ obligasi satu negara dengan negara lain di kawasan saja. Membandingkan _yield_ suatu obligasi, hendaknya dilakukan dengan obligasi yang memiliki tenor sama dan _credit rating_ yang sama, sehingga bisa proporsional dan seimbang.
Masing-masing negara juga memiliki karakter perekonomian yang berbeda, sehingga tidak bisa dibandingkan yield suatu negara dengan negara lain di kawasan.
Dalam menganalisis yield, umumnya dilihat kecenderungan yang terjadi di pasar keuangan, dari kondisi global yang berpangaruh terhadap kondisi domestik. Kenaikan Fed Fund Rate (FFR) sebanyak 4 kali di 2018 (total 100bps) mempengaruhi kenaikan yield US Treasury (UST) sekitar 29 bps atau 12,1% (UST tenor 10 tahun).
Kenaikan ini kemudian ditransmisikan ke kenaikan BI 7 days-Reverse Repo Rate (BI-7 RRR) sebanyak 6 kali sebesar 175 bps, dari 4,25% menjadi 6,0%.
Kenaikan FFR dan BI-7 RRR memengaruhi kenaikan yield SBN di tahun 2018 sebesar 26,92% (SUN 10 tahun). Kecenderungan peningkatan yield, terutama di tahun 2018 juga terjadi di beberapa negara dan bahkan lebih tinggi dibanding kenaikan _yield_ SUN, misalnya instrumen dengan tenor sama untuk Turki yang naik sebesar 39,74%, Argentina 32,01%, dan Rusia 30,41%.
Selain membandingkan kenaikan yield yang juga umumnya dilakukan adalah membandingkan spread antara _yield UST sebagai benchmark dengan yield_suatu surat berharga. Jika dilihat dari spread-nya terhadap UST, Indonesia mengalami kenaikan sebesar 31% atau lebih baik dibandingkan negara-negara lainnya, seperti Filipina (naik 60%), Spanyol (naik 75%), dan Irlandia (naik 52%).
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
|
2. Net International Investment Position (NIIP)
NIIP mengindikasikan apakah suatu negara merupakan kreditur atau debitur.
Jepang memang memiliki NIIP cukup tinggi. Namun jika dibandingkan dengan negara dengan perekonomian yang sama, berdasarkan data IMF per Triwulan IV - 2016, Amerika Serikat merupakan negara debitur terbesar di dunia saat ini dengan rasio utang 105,4% per akhir 2017. Kondisi NIIP Indonesia masih lebih baik dibandingkan India, Brazil, Meksiko, Turki, maupun Amerika Serikat.
Indonesia memang negara debitur, namun level utangnya tergolong sehat dengan rasio utang per PDB per akhir Desember 2018 sbeesar 29,78%. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan Singapura (110,6%), Vietnam (61,5%), Malaysia (50,9%), Filipina (41,9%), dan Thailand (41,8%).
Hingga saat ini Pemerintah tidak pernah gagal bayar, karena kita mengelolanya secara hati-hati dan terukur. Dalam hal ini pemerintah memperhitungkan kemampuan membayar kita jauh lebih tinggi dibandingkan kewajiban di setiap jatuh tempo.
3. Defisit transaksi berjalan
Terkait neraca perdagangan, berdasarkan data yang dirilis oleh BPS, pada periode 2015 - 2017, neraca perdagangan tercatat surplus hingga USD 11,4 miliar di tahun 2017. Pada tahun 2018 Neraca Perdagangan mengalami defisit sebesar USD8,6 miliar, yang bersumber dari penurunan surplus neraca nonmigas hingga menjadi USD 4,0 miliar, di tengah pelebaran defisit migas hingga menjadi USD 12,5 miliar.
Peningkatan defisit Neraca Perdagangan dipengaruhi oleh tingginya kenaikan impor baik bahan baku, barang modal dan barang konsumsi sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi domestik, yang melebihi dari kenaikan ekspor.
Untuk itu, dalam rangka mendorong ekspor, Pemerintah tidak tinggal diam dan telah menempuh kebijakan antara lain memberikan penambahan kuota produksi batu bara dan tanpa dikenakan kewajiban DMO (Domestic Market Obligation merupakan kewajiban produsen batu bara domestik untuk memasok produksi batu bara bagi kebutuhan PT PLN (Persero)), pemberian fasilitas dan insentif procedural (penyederhanaan dan kemudahan ekspor) serta melanjutkan kebijakan Penugasan Khusus Ekspor (National Interest Account/NIA).
Sementara untuk pengendalian impor dilakukan melalui reviu terhadap proyek-proyek infrastruktur pemerintah khususnya Proyek Strategis Nasional (PSN), pengurangan impor BBM solar melalui penggunaan Biodiesel (B-20) baik PSO maupun Non PSO, juga mendorong peningkatan penggunaan barang konsumsi produk dalam negeri melalui penyesuaian tariff PPh Impor atas Barang Konsumsi.
Foto: REUTERS/Mukesh Gupta/Files
|
4. Tax Ratio
Tahun 2018 Merupakan Titik Balik Perbaikan Kinerja Perpajakan. Selama sembilan tahun terakhir (2009 - 2017), tax ratio Indonesia mengalami tren penurunan dan baru mulai meningkat di tahun 2018.
Peningkatan menjadi 11.42% di tahun 2018 tersebut diharapkan menjadi titik balik perbaikan kinerja perpajakan Indonesia dan akan berlanjut di tahun mendatang.
Upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan _tax ratio_ dari sisi reformasi kebijakan dan reformasi administrasi, antara lain melalui:
a) Keterbukaan informasi keuangan dan Automatic Exchange of Information (AEoI)
b) Peningkatan tingkat kepatuhan melalui penguatan dan peningkatan pelayanan, pengawasan, dan pemeriksaan
c) Kebijakan amnesti pajak yang cukup berhasil dengan total aset yang dideklarasi mencapai 3.589 Trilyun Rupiah
d) Stimulus perpajakan bagi UMKM yang menurunkan tarif PPh untuk UMKM menjadi 0,5% dari penghasilan bruto
e) Kebijakan restitusi pajak yang semakin dipercepat
f) Pemberian tax allowance dan tax holiday sebagai fasilitas pengurangan PPh Badan.
Menteri Keuangan selalu memberikan perhatian penuh pada kondisi perekonomian global dan dampaknya terhadap Indonesia sehingga dapat mengambil kebijakan yang tepat dan akurat dalam mengantisipasi gejolak perekonomian. Sampai saat ini berbagai kebijakan tersebut mendapatkan apresiasi dari lembaga rating dunia sehingga sangat jauh dari kondisi krisis yang ditulis Gede Sandra.
Pengelolaan APBN juga dilakukan secara kredibel, profesional dan akuntabel sehingga dapat memperoleh penilaian Wajar Tanpa Pengecualian pada tahun 2017 dan 2018.
Semua dilakukan Menkeu SMI tanpa pamrih. Kalaupun ada penghargaaan atau apresiasi, hal tersebut adalah bonus bagi beliau yang bekerja sepenuh hati untuk Indonesia yang sangat dicintainya, dan akan selalu dicintai hingga akhir hayat.
Simak video terkait tanggapan Sri Mulyani terhadap kebijakan The Fed di bawah ini.
(miq/miq)
http://bit.ly/2U5xDAl
April 08, 2019 at 04:08PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ini Penjelasan Kemenkeu Soal Yield Tinggi dan Loyonya Tax Ratio"
Post a Comment