Search

Benarkah Tax Ratio di Era Orde Baru Pernah Capai 16%?

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdebatan mengenai rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio memanas dalam Debat Pilpres 2019 kelima kemarin malam, Sabtu (14/4/2019).

Kandidat calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mengkritik pemerintahan saat ini di mana tax ratio merosot hingga di kisaran 10%. Bila terpilih nanti, Prabowo berjanji akan meningkatkan tax ratio hingga 16% seperti yang terjadi di Era Orde Baru.

Tapi, apa benar tax ratio pada masa itu pernah mencapai angka 16%?


Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memaparkan bahwa berdasarkan data Nota Keuangan dan APBN Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam kurun waktu 1990 sampai 1998 tax ratio Indonesia tidak pernah lebih tinggi dari tax ratio selama Era Reformasi.


"Bahwa tax ratio kita perlu ditingkatkan, benar belaka. Dan inilah yang ingin dicapai melalui reformasi perpajakan," kata Yustinus kepada CNBC Indonesia melalui pesan singkat, Minggu (14/4/2019).

"Data menunjukkan, Era Orde Baru (kurun 1990-1998) dan sebelumnya, tax ratio kita tidak pernah lebih tinggi daripada tax ratio selama era Reformasi, bahkan lebih rendah dibanding tax ratio 2017,"

Berdasarkan pelacakan Nota Keuangan APBN milik Kemenkeu, papar Yustinus, tax ratio periode tahun 1990-1998 berturut-turut: 6,19% (1990), 6,72% (1991), 7,31% (1992), 7,30% (1993), 7,68% (1994), 8,20% (1995), 7,86% (1996), 8,03% (1997), dan 6,05% (1998).

Ditarik mundur ke belakang, tax ratio Indonesia sebesar 7,33% (1972), 6,70% (1980), 5,25% (1984).

Adapun, tax ratio Indonesia tahun 2017 tercatat sebesar 8,47% (dalam arti sempit, penerimaan pajak yang dikelola Ditjen Pajak saja), dalam arti luas sebesar 10,58% (termasuk bea cukai dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor sumber daya alam (SDA)).

Benarkah Tax Ratio di Era Orde Baru Pernah Capai 16%?Foto: Capres no urut 02 Prabowo Subiato dan Cawapres Sandiaga Uno di acara debat kelima Capres dan Cawapres Pilpres 2019 di Golden Ballroom Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Dalam arti luas, kata Yustinus, tax ratio Indonesia berturut-turut sebesar 14,6% (2012), 14,3% (2013), 13,7% (2014), 11,6% (2015), dan 10,8% (2016), 10,7% (2017), dan 11,5% (2018).

"Ingin mencapai 16% tentu sah dan baik, tapi tanpa peta jalan dan strategi yang tepat, justru berpotensi menciptakan ketidakadilan baru," ungkapnya.

Untuk mencapai pembangunan yang optimal memang dibutuhkan level tax ratio sebesar 16%. Namun, menurutnya, tax ratio bukanlah satu-satunya alat ukur bagi kinerja institusi pemungut pajak lantaran ada beberapa faktor dan kondisi yang perlu diperiksa dan dibandingkan. Misalnya, besaran insentif pajak, besarnya sektor informal (underground economy), insentif untuk menghindari pajak, kehandalan sistem, dan tingkat kepatuhan pajak.


Dalam debat Pilpres kemarin malam, kandidat nomor urut 02 Prabowo Subianto mengkritik pemerintahan saat ini akibat rendahnya tax ratio.

"Tahun 1997 waktu Orba (Orde Baru), Indonesia sempat tax ratio-nya 16%. Sekarang merosot jadi 10%. Jadi kita kehilangan U$60 miliar per tahun," kata Prabowo.

Prabowo bercita-cita tax ratio Indonesia setidaknya setara dengan rasio pajak Malaysia dan Thailand yang disebut sudah mencapai 19%. Sebagai langkah konkret, Prabowo akan meningkatkan rasio pajak dengan menggunakan komputerisasi informasi teknologi sehingga semua berjalan lebih transparan.

"Saya yakin dengan program informatika, teknologi, tranparansi kita bisa contoh negara lain dan kita pun bisa kembali ke [tax ratio] 16%, bahkan 19%," ucapnya.

Saksikan video cuplikan debat capres 2019 berikut ini.

[Gambas:Video CNBC]

(prm)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2Ix4s7a

April 14, 2019 at 08:40PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Benarkah Tax Ratio di Era Orde Baru Pernah Capai 16%?"

Post a Comment

Powered by Blogger.