Search

5 Film Politik Pilihan Jelang Pemilu 2019

Jakarta, CNBC Indonesia - Pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 akan diselenggarakan pada 17 April mendatang. Hal itu diyakini sebagai salah satu wadah bagi warga negara untuk menyalurkan aspirasinya dengan memilih pemimpin dan wakilnya.

Siapa sangka dalam konteks Pemilu film dapat digunakan sebagai alat untuk menimbulkan kesan baik sehingga bisa memengaruhi keputusan publik.


Selain menghibur masyarakat, film juga berguna sebagai sarana pendidikan politik karena film dapat memengaruhi dan membentuk pola pikir masyarakat berdasarkan muatan pesan yang ada di dalamnya.


CNBC Indonesia memilih lima film pilihan yang dapat ditonton guna menambah wawasan politik.

12 Angry Men (1957)
Apa yang membuat sebuah film drama yang bisa dikenang sepanjang masa? Apa karena pengumpulan tokoh berbakat atau elemen lain dari film yang mempunyai bobot yang sama besar?

Film tahun 1957 garapan Sutradara Sidney Lumet ini memiliki itu semua.Yang menonjol adalah lokasi film ini hanya berada di satu lokasi tunggal tanpa meninggalkan esensi tegangnya.

Film ini menampilkan drama di ruang sidang. Meja besar dikelilingi oleh juri yang berunding dan mempertanyakan serta mendebatkan moralitas manusia. Mereka ditugaskan menentukan nasib seorang remaja berusia 18 tahun yang dituduh membunuh ayahnya dengan menikam pisau ke dadanya.

Sidney Lumet betul-betul pintar menampilkan ketegangan dari ruangan yang terbatas, seperti tetesan keringat yang mengalir dari alis mereka dan dominasi tokoh tertentu. Umumnya bagi filmmaker dalam tahun itu hanya mampu menampilkan satu sampai dua talent dalam satu ruangan dengan bidikan angle kamera yang terbatas.

5 Film Politik Pilihan Jelang Pemilu 2019Foto: Film 12 Angry Men (Foto: ist)

Sepanjang film kita melihat seorang juri nomor 8 bernama Davis yang diperankan oleh Henry Fonda berdiri sendiri menyatakan "tidak bersalah". Suatu hal yang berbeda dari 11 juri lain yang menyatakan bahwa remaja itu "bersalah".

Keputusan para juri terhadap nasib remaja itu harus berdasar pada konsensus, yakni 12 juri itu harus sama-sama sepakat pada keputusan yang diambil.

Para juri yang menyangkal Davis mulai mereka adegan remaja yang diduga membunuh ayahnya. Seperti barang bukti pisau lipat yang digunakan untuk membunuh, lokasi anak itu sebelum pembunuhan terjadi, sampai keterangan para saksi.

Namun Davis selalu menyatakan keraguan dan menyangkal atas bukti yang telah disajikan dan validitas para saksi. Boom! Nalar juri lain perlahan-lahan tergugah atas pernyataan Davis. Satu persatu juri berpihak di pihak Davis. Anak itu dinyatakan tidak "tidak bersalah".

Apa yang bisa kita pelajari dalam film 12 Angry Men adalah dinamika perdebatan politik. Satu orang yang memiliki gagasan kuat dapat membalikkan keadaan, bahkan untuk membela orang yang dituduh bersalah atas kasus pembunuhan.

Hal ini mirip dengan apa yang dinyatakan filsuf Perancis bernama Voltaire, "it is better to risk saving a guilty man than condemn an innocent one" yang artinya lebih baik menyelamatkan orang bersalah daripada menghukum yang tidak bersalah.

No (2012)
Dunia sempat gempar dengan referendum Chile tahun 1988. Sang diktator Augusto Pinochet ditentukan nasibnya oleh rakyat, apakah ia akan tetap memimpin hingga 8 tahun ke depan. Film No mengisahkan kemenangan rakyat Chile di tangan sang diktator. Bukti bahwa rakyat punya kuasa penuh atas negara dan pemimpinya.

No dalam Bahasa Spanyol yang berarti tidak. Film ini tampil di tahun 2012 yang disutradari oleh Pablo Larrain. Film ini diangkat dari naskah El Plebiscito buatan Antonio Skármeta. Aktor asal Meksiko bernama Gael Garcia Bernal berperan sebagai René, seorang ahli periklanan yang hidup di era 80-an.


Kudeta tersebut diyakini didukung oleh CIA terhadap rezim Pinochet yang terlah berkuasa selama 15 tahun. Pinochet memang dikenal sebagai pemerintahan dengan junta militernya yang kejam. Di bawah rezim represifnya, puluhan ribu warga Chili dihilangkan, disiksa, dan dibunuh.

Pinochet saat itu mendapatkan tekanan dari dunia internasional. Memaksa ia untuk tunduk pada referendum "Si" dalam Bahasa Spanyol yang berarti "Iya" untuk setuju keberlanjutan rezim Pinochet sedangkan No untuk memberhentikan rezimnya.

René saat itu memiliki tugas yang sangat berat. Ia mengkampanyekan No pada khalayak masyarakat, mengajak mereka untuk tidak tunduk pada pemerintahan Pinochet. René dibantu dengan para aktivis lainya dengan diam-diam mereka menyiapkan propaganda "No" untuk sebuah tayangan iklan di televisi.

Alhasil, referendum menyatakan 55,99 % untuk "No" sedangkan "Si" dengan 44.01%. Rezim Pinochet berhasil dijatuhkan.

Apa yang bisa kita pelajari dalam film ini adalah bagaimana kekuatan rakyat bisa bersatu padu melawan kebengisan penguasa yang sudah melumat hak dan nyawa rakyatnya sendiri.

Brexit: The Uncivil War (2019)
Dunia telah mengetahui bahwa Inggris telah memutuskan keluar dari Uni Eropa. Namun belum banyak yang mengetahui bagaimana proses itu terjadi.

Diangkat dari kisah nyata bahwa Dominic Cummings yang dilakoni oleh aktor pemeran serial Sherlock, Benedict Cumberbatch, memiliki kecerdasan sebagai "puppet master" dari kampanye Brexit.

"Everyone knows who won. But not everyone knows how," kata Cummings di awal film.

Dominic Cummings adalah seorang konsultan politik. Ia mampu memengaruhi para investor yang sepakat dengan kebijakan Brexit. Film ini menggambarkan suasana polarisasi tahun 2016 antara para pemilih yang ingin tetap pada Uni Eropa dan yang meninggalkan Uni Eropa.

Cummings mempunyai otoritas penuh dalam kampanye ini sebagai ketua kampanye. Ia mengesampingkan kampanye tradisional dengan poster dan selebaran. Jauh dari itu, Cummings menggunakan kampanye digital melalui "analisis statik alogaritmik".


Dalam praktiknya, hal itu menggunakan informasi pribadi untuk mengidentifikasi jutaan pemilih potensial. Kemudian data tersebut di kampanyekan secara online dan makro.

Film ini unggul dalam menggambarkan bagaimana strategi kampanye "vote leave" dapat mengeksploitasi strategi berbasis data.

Film ini ditulis oleh James Graham dan disutradarai oleh Tobi Haynes yang tayang pada 7 Januari 2019.

Darkest Hour (2017)
Gary Oldman tampil memukau sebagai Perdana Menteri Inggris legendaris, Winston Churchill. Oldman mampu memerankan Churcill yang emosional dan strategis. Aktingnya mampu membuat penonton mengernyitkan dahi karena kesal dengan kelakuan Churchill yang arogan.

Latar film menunjuk tahun 1940, dimana keamanan nasional Britania Raya sedang terancam dengan invasi tentara Jerman. Di awal film, Churcill kerap kali ditampilkan dengan seorang Sekretarisnya bernama Elizabeth Layton. Pada hari pertamanya, nona Layton kerap kali kena semprot Churchill karena tidak mampu menyamai ritme kerja Churchill.

Sang istri, Clementine mengingatkan Churchill bahwa dirinya akan diangkat menjadi Perdana Menteri. Ia harus berprilaku sebagaimana mestinya, mengayomi rakyat dan menang atas suara rakyat. Kemudian Churchill dipanggil ke Istana oleh Raja George VI untuk menerima posisi tersebut walaupun Sang Raja menganggap bahwa Churchill adalah pilihan yang terburuk.

Saat Churchill melakoni jabatan barunya, ia berpidato di hadapan parlemen agar membantu Perancis melawan tentara Jerman. Churchill tidak dapat merundingkan perdamaian dengan Jerman dan menghadapi masa sulit kala itu karena mosi tidak percaya datang pada dirinya.

GIE (2005)
Indonesia sempat punya aktivis pejuang kebebasan kediktatoran Presiden Soekarno dan Soeharto. Dalam film garapan Sutradara Riri Riza yang tayang di tahun 2005. Penonton tersihir kisah aktivis yang mati muda itu.

Soe Hok Gie, aktivis berdarah Tionghoa itu menyihir penonton dengan kisah asmara dan perjuanganya di kampus Universitas Indonesia. Bak seorang mahasiswa ideal, ia seringkali mengadakan diskusi film pada kelompok kecil yang dia buat. Menanamkan pemikiran kritis pada mahasiswa UI yang aktif saat itu.

Sebagai mahasiswa Fakultas Sastra, Gie nyaman dengan buku. Sejak muda ia tidak asing dengan kisah perjuangan Mahatma Gandhi dan Rabindranath Tagore. Di bangku sekolah, Ia mengkritik guru SMA nya yang kolot. Bernada sinis dan intelektual ia mengungkapkan "Guru yang tidak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau."

Film menceritakan kemerawutan pemrintahan Soekarno saat itu, Gie melihat orang memungut makanan di tong sampah. Gie yang kasihan pada orang itu memberikan uang saku untuk makan. Soundtrack Film berjudul Dona Dona karya Joan Baez juga membawa suasana perjuangan di era post-modern.

5 Film Politik Pilihan Jelang Pemilu 2019Foto: Poster film Gie. (Foto: ist)

Kehidupan kampus Gie masih terasa di zaman sekarang. Masuknya organisasi ekstra dengan berbagai kepentingan masing-masing digambarkan sebagai dinamika politik kampus dalam film itu. Gie menentang teman-temanya yang duduk di Senat saat itu. Sebagai orang yang merdeka, Gie juga banyak menulis untuk menyerang pihak-pihak yang pantas ditegur.

Gie di era kontemporer bak simbol mahasiswa idealis. Banyak mahasiswa yang meniru gaya, pemikiran, dan aktivismenya. Beberapa bahkan fanatik dengan sosok Gie sebagai pahlawan mahasiswa. Film Gie membantu mengembangkan interpretasi penonton (selain buku biopik) untuk mencapai idealisme itu.

Mati Muda Gie di Gunung Mahameru memberikan perdebatan dengan kisah kospirasi pemerintah saat itu. Film menampilkan puisi romantis terakhir Gie kepada kekasihnya yang dibacakan secara narasi oleh aktor Nicholas Saputra. (prm)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2P6oXZI

April 14, 2019 at 08:09PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "5 Film Politik Pilihan Jelang Pemilu 2019"

Post a Comment

Powered by Blogger.