Search

Rapor Menkeu Sri Mulyani: When The Best Isn't Good Enough?

Jakarta, CNBC Indonesia - Joko Widodo (Jokowi) dipastikan melenggang ke periode keduanya sebagai presiden setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam rapat pleno, pekan lalu. Jokowi bersama KH Ma'ruf Amin sukses menaklukkan pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno terkait dengan hasil pemilihan presiden (Pilpres) edisi 2019.

Nyaris lima tahun pemerintahan Jokowi berjalan, tentunya ditemani oleh Jusuf Kalla (JK) selaku wakilnya, banyak hal yang bisa dievaluasi. Salah satu hal yang bisa dievaluasi untuk perbaikan di masa depan adalah kinerja para menteri.

Rasanya semua sudah tahu kalau ada beberapa menteri di Kabinet Kerja Jokowi yang sering dikritik oleh masyarakat luas di media sosial, Sri Mulyani misalnya. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia yang kini kembali untuk mengarsiteki kas negara tersebut sering dirundung kritik terkait getolnya Kementerian Keuangan dalam menarik utang.


Sekadar mengingatkan, sebelumnya Sri Mulyani sempat menjabat juga sebagai Menteri Keuangan pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (periode satu).

Namun, bagaimana sih sebenarnya kinerja Sri Mulyani di periode keduanya sebagai menteri keuangan?

Kalau berbicara mengenai Kementerian Keuangan, rasanya yang paling pertama harus dibahas adalah penerimaan negara. Ya, salah satu fungsi utama Kementerian Keuangan adalah mengumpulkan penerimaan, baik yang berupa pajak maupun non-pajak, untuk kemudian disalurkan seefektif mungkin guna menyejahterakan masyarakat Indonesia.

Sri Mulyani kembali ke Indonesia sebagai menteri keuangan pada Juli 2016 sehingga tidak fair jika menilai kinerjanya berdasarkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) periode 2016, lantaran dirinya baru menjabat selepas tengah tahun. Oleh karena itu, kinerja Sri Mulyani akan dievaluasi menggunakan data realisasi APBN/APBNP tahun 2017 dan 2018.

Pada tahun 2015 dan 2016 kala posisi Menteri Keuangan ditempati oleh Bambang Brodjonegoro, realisasi penerimaan negara tercatat masing-masing sebesar 85,6% dan 87,1% dari target. Sementara itu, realisasi belanja negara adalah masing-masing sebesar 91,1% dan 89,5% dari target.

Beralih ke era Sri Mulyani, pada tahun 2017 dan 2018 realisasi penerimaan negara tercatat melonjak menjadi masing-masing sebesar 96% dan 102,6% dari target. Sementara itu, realisasi belanja negara juga melonjak menjadi masing-masing sebesar 94,1% dan 99,7% dari target.


Sekilas, terlihat bahwa Sri Mulyani begitu capable dalam mendongkrak penerimaan negara bukan? Namun kalau diamati lebih jauh, terlihat jelas bahwa ada faktor keberuntungan yang menaungi kembalinya Sri Mulyani ke Indonesia.

Di era Sri Mulyani, penerimaan negara terdongkrak naik seiring dengan derasnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebagai informasi, pos PNBP didominasi oleh bagi hasil yang didapatkan pemerintah dari pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh badan usaha. Pada tahun 2018, realisasi PNBP bahkan mencapai 148,6% dari target.


Wajar jika realisasi PNBP meningkat deras di era Sri Mulyani. Pasalnya, harga komoditas andalan Indonesia yakni minyak mentah dan batu bara melesat di periode keduanya sebagai Menteri Keuangan.


Kalau tak ada lonjakan PNBP, bisa dipastikan realisasi penerimaan dan belanja negara di era Sri Mulyani tak akan sekinclong itu.

Ini artinya, pemerintah harus tetap memutar otak untuk mendongkrak penerimaan pajak supaya kala harga komoditas jatuh, penerimaan negara secara keseluruhan tetap aman. Nah di sini, pemerintah punya pekerjaan rumah yang tak ringan yakni meningkatkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB.

Rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau yang biasa dikenal dengan tax ratio memang merosot sejak tahun 2015. Tax ratio pernah tembus 13,7% yakni pada tahun 2014, namun kemudian terus menurun dalam kurun waktu 3 tahun berikutnya.

Pada tahun 2015, tax ratio Indonesia anjlok ke angka 11,6% sebelum kemudian kembali turun menjadi 10,8% pada tahun 2016. Pada tahun 2017, tax ratio kembali turun ke angka 10,7%. Pada tahun 2018, tax ratio tercatat berada di level 11,5%.

Jika dibandingkan dengan capaian negara-negara lain di kawasan regional maupun global, tax ratio Indonesia terbilang rendah. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Sri Mulyani.

"Tax ratio kita sekitar 11,5%, meningkat signifikan dibanding sebelumnya yang mana di bawah 11%, tapi ini tetap di bawah standar regional, serta standar global," kata Sri Mulyani pada Februari lalu dalam acara IndoGAS 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, dikutip dari detik finance.

Angka itu pun sejatinya merupakan tax ratio dalam arti luas. Jika dihitung dalam artian sempit (hanya memasukkan penerimaan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak/DJP), tax ratio pada tahun 2018 hanya menyentuh level 10,3%.

Salah satu masalah utama yang menyebabkan tax ratio Indonesia relatif kecil dalam beberapa tahun terakhir adalah tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, tercermin dari rendahnya pelaporan surat pemberitahuan tahunan (SPT).

Hal ini membuat penerimaan pajak tak pernah mencapai target, yang pada akhirnya mendorong pemerintah untuk berutang guna membiayai defisit anggaran.

HALAMAN SELANJUTNYA >>>>> 'Perekonomian Lesu, Tak Ada Gairahnya'

(ank/dru)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2XUfufb

July 05, 2019 at 02:07PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Rapor Menkeu Sri Mulyani: When The Best Isn't Good Enough?"

Post a Comment

Powered by Blogger.