
Fitch menilai tertekannya profil kredit karena tingginya tingkat utang dari dua anak usaha PT Hutama Karya (Persero) itu.
Menurut Fitch, niat perusahaan melakukan efisiensi biaya dengan mengeksekusi proyek besar-besaran malah berdampak pada meningkatnya biaya konstruksi.
"Hal ini didorong oleh naiknya biaya konstruksi di proyek-proyek besar, dan investasi di proyek konstruksi dan non-konstruksi" tulis Fitch Ratings dalam keterangan resmi, Rabu (24/4/2019).
Penurunan ruang peringkat itu tercermin dari prospek Waskita yakni Negatif dengan rating A (Idn) dan WIKA yang juga mendapat prospek Negatif dengan rating BB/AA- (Idn).
"Tekanan pada neraca keuangan perusahaan konstruksi ini bertahan dalam jangka menengah karena mereka mengeksekusi order book [kontrak] yang luar biasa, meskipun margin EBITDA [laba bersih sebelum pajak, bunga, depresiasi dan amortisasi] stabil pada tahun 2018," tulis Fitch.
Pada kasus WSKT, tingginya tingkat utang disebabkan karena membengkaknya jumlah pendanaan dalam bentuk utang untuk bisnis konstruksi.
Beberapa sentimen yang mendorong pendanaan lewat utang termasuk molornya mayoritas pembayaran untuk turnkey projects, rendahnya uang ganti pembebasan lahan dari pemerintah, dan tingginya modal kerja.
Turnkey project adalah pembayaran dari developer atau pemilik proyek kepada kontraktor dilakukan saat pekerjaan telah selesai seluruhnya atau pada saat proyek serah terima dari pelaksana ke pemilik.
Fitch mencatat, dari order book perusahaan, setidaknya 50-60% adalah turnkey project. Biasanya tipe proyek tersebut membutuhkan dana sangat besar di periode awal karena pembayaran baru akan diberikan setelah proyek selesai.
Meskipun demikian, proyek tipe tersebut umumnya juga memberikan margin yang cukup besar.
Dengan demikian jika perusahaan mampu mengeksekusi proyek dengan baik, maka 1-2 tahun ke depan, Fitch dapat merevisi prospek perusahaan dari Negatif ke Stabil.
Fitch menambahkan dalam laporannya bahwa hasil Pemilihan Umum 2019 tampaknya tidak akan berdampak besar pada pelaksanaan proyek infrastruktur dan kinerja laba emiten konstruksi.
Hal ini dikarenakan, kedua perusahaan telah membukukan capaian kontrak yang cukup tinggi. Selain itu, APBN tahun ini juga masih memprioritaskan pengembangan infrastruktur, dengan anggaran yang mencapai Rp 415 triliun dari sebelumnya Rp 410 triliun di tahun 2018.
Sepanjang tahun 2018 jumlah kontrak baru yang dibukukan Waskita untuk proyek pembangunan tol turun menjadi Rp 27 triliun dari Rp 56 triliun di tahun 2017.
Namun, Fitch memproyeksi tahun ini, Waskita akan mencatat kontrak baru hingga Rp 40 triliun karena masih banyak proyek tol yang akan dilelang pemerintah tahun ini.
Adapun soal WIKA, belanja modal tahun lalu ternyata lebih besar dari perkiraan Fitch. Tingginya belanja modal akan berdampak pada semakin membengkaknya tingkat utang perusahaan.
Jika tingkat utang menyentuh level 2 kali, besar kemungkinan Fitch mempertimbangkan akan memberikan prospek Negatif.
Namun, estimasi ini masih mungkin berubah tergantung pada fokus pemerintah. Alasannya, proyek berskala besar milik pemerintah, kebanyakan belum memiliki jadwal yang jelas.
WIKA juga membukukan kenaikan order book hingga 16% (secara tahunan) pada tahun lalu dari proyek pembangunan gedung, jalan tol, dan pelabuhan. Bisa dikatakan, proyek WIKA yang lebih beragam menjadi salah satu alasan kenapa order book perusahaan mampu tumbuh positif.
WIKA dan WSKT kini masuk dalam Holding BUMN Infrastruktur bersama PT Jasa Marga Tbk (JSMR) dan PT Yodya Karya dengan induk usaha PT Hutama Karya (Persero).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas)
http://bit.ly/2PoPNwv
April 24, 2019 at 10:58PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Utang Membengkak, Rating Waskita dan Wika Berpotensi Dipangkas?"
Post a Comment