
Pasalnya memang agak sulit untuk menarik pajak dari suatu bisnis yang belum ada aturan pajaknya. Apalagi, banyak operasi bisnis yang dilakukan oleh perusahaan teknologi asing tidak berpusat di negara tempat bisnisnya dilangsungkan.
Contohnya Google dan Facebook. Kedua perusahaan tersebut mendapatkan penghasilan utamanya dari iklan.
Menurut data yang dilansir oleh Bloomberg, porsi pendapatan Google dan Facebook yang didapat dari iklan terhadap total pendapatan pada tahun 2017 masing-masing sebesar 86% dan 98%.
Hampir seluruh iklan tersebut dipublikasikan melalui media digital. Sesuatu proses yang utamanya digerakkan oleh sebuah server yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Sayangnya, sampai saat ini server Google dan Facebook belum ada di Indonesia.
Artinya, apabila penduduk Indonesia memanfaatkan laman kedua perusahaan tersebut sebagai media iklan, maka sejatinya operasi bisnisnya akan dilakukan di tempat server berada.
Kegiatan bisnis seperti inilah yang masih belum memiliki aturan perpajakan. Alhasil untuk bisa menarik pajak dari perusahaan semacam ini, sebuah negosiasi mutlak dibutuhkan. Pasalnya seringkali besaran pajak yang diminta oleh pemerintah dengan yang dihitung oleh perusahaan berbeda.
Jalan Berliku Menagih Pajak
Proses penagihan pajak Google yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2016.
Awalnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menemukan dugaan bahwa Google telah memperoleh pendapatan mencapai Rp 6 triliun dari iklan yang dilakukan di Indonesia. Namun DJP kala itu mendapati Google tak menyetorkan pajak.
Tak lama berselang, drama pun terjadi. Surat perintah pemeriksaan kepada Google Asia-Pasifik yang bertempat di Singapura dikembalikan oleh Google kepada DJP. Dengan tindakan tersebut, Google terang-terangan menolak untuk diperiksa oleh pemerintah Indonesia.
Barulah menjelang akhir tahun 2018, Google mau diajak kerjasama dengan melakukan negosiasi dengan pemerintah.
Negosiasi tersebut berguna untuk menentukan besaran pajak yang harus dibayar oleh Google. Negosiasi yang terjadi kala itu pun tidak mudah.
Berkali-kali utusan dari DJP menyambangi kantor Goolge. Saat itu Perusahaan yang berada di bawah perusahaan induk Alphabet Inc tersebut menolak untuk dikategorikan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Google juga disebut-sebut keberatan dengan besaran pajak yang diminta oleh pemerintah Indonesia.
"Google bilang kok Indonesia mintanya ketinggian dari pada Inggris," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengutip defikfinance Senin (12/6/2017).
Barulah pada Bulan November tahun 2017 Google mau membayarkan besaran pajak yang diminta oleh pemerintah RI.
"Mereka melakukan pembayaran dari Amerika Serikat, lalu ke Singapura, nah baru ke Indonesia. Terima kasih kepada perusahaan "G" telah bekerja sama taat dengan peraturan perpajakan di Indonesia," ungkap Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi, mengutip CNN Indonesia Kamis (20/11/2017).
Namun hingga kini, besaran pajak yang dibayar oleh Google masih menjadi misteri.
Google juga disebut-sebut telah berstatus sebagai BUT, sehingga penarikan pajak dari perusahaan teknologi tersebut setidaknya bisa memiliki dasar hukum yang lebih kuat.
Fenomena serupa tak hanya terjadi di Indonesia. pada tahun 2018, India juga berniat untuk melakukan hal serupa.
Bahkan pemerintah India memaksa perusahaan berbasis internet untuk menyimpan data pengguna asal Negeri Bollywood di server lokal.
Sama halnya dengan Perancis yang mulai tanggal 1 Januari 2019 kemarin mulai memberlakukan pajak pada perusahaan internet yang beroperasi di negara tersebut, seperti yang dilaporkan oleh surat kabar lokal Paris, Le Maire, mengutip Reuters. Pajak akan dikenakan untuk setiap iklan digital. Pajak juga akan dikenakan untuk transaksi data personal untuk keperluan periklanan.
BACA JUGA : Begini Perjalanan Pemerintahan Jokowi Pajaki Google Dkk
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru)
http://bit.ly/2WTeQuf
April 06, 2019 at 12:00AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Untuk Bisa Tarik Pajak Google-Facebook, DJP Harus Lalui Drama"
Post a Comment