"Sekarang indikasi penyakit kartel monopoli kumat kembali. [Hal itu] seperti terlihat dari mekanisme harga-harga yang disinkronisasi secara duopoli oleh pelaku usaha," kata Ekonom Senior INDEF Didik J. Rachbini dalam diskusi on-line bertema Mimpi Tiket Penerbangan Murah: Perlukah Maskapai Asing Menjadi Solusi?, Minggu (16/6/2019).
Didik menjelaskan sudah dua dekade terakhir ini kebijakan industri penerbangan dan pengelolaan persaingan berjalan sehat. Hal itu terjadi mulai tahun 2000-an. Sebelum tahun 2000, industri penerbangan menerapkan praktek kartel yang menyebabkan harga tiket pesawat mahal ketika itu.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat itu melarang praktek kartel. Hasilnya, setelah tahun 2000 sampai 2018 industri penerbangan bersaing ketat dan harga tiket bersaing murah.
"Setelah tahun 2018 harga tiket menjadi mahal kembali dengan pelaku usaha yang [menerapkan] duopoli terjadi indikasi praktek kartel tapi dibiarkan berjalan terus sehingga harga tiket mahal kembali," imbuh Didik.
Didik menyimpulkan bahwa kenaikan harga tiket pesawat disebabkan oleh praktek kartel yang kembali muncul akibat longgarnya pengawasan pemerintah dan KPPU. Sehingga, solusi memasukkan maskapai asing ke dalam negeri tidak akan menyelesaikan masalah.
"Masalahnya adalah praktek monopoli kartel tersebut sehingga jika mengundang maskapai asing juga tidak akan menyelesaikan masalah," tuturnya.
"Untuk membangun industri yang bersaing sehat, perlu kembali pada kebijakan persaingan. KPPU perlu berperan jangan cuma watchdog melongo, yang harus didukung oleh pemerintah," katanya.
Ekonom Senior INDEF lainnya Nawir Messi berpendapat mahalnya tarif tiket pesawat disebabkan masih terjadinya penyesuaian-penyesuaian harga yang menyebabkan hilangnya kompetisi di pasar maskapai domestik.
![]() |
Penyesuaian harga itu terlihat dari pola perubahan harga penerbangan. Ketika satu maskapai menaikkan harga, maskapai lain mengikuti. Sebaliknya, bila satu maskapai menurunkan, yang lainnya akan ikut turun.
"Praktek penyesuaian terjadi di beberapa kasus persaingan. Strategi ini ditempuh agar konsumen dapat berpindah. Itu jika ada kompetisi di pasar," imbuhnya.
Mengikutsertakan maskapai asing ke dalam pasar penerbangan dalam negeri tidak akan membuat harga tiket turun. Pasalnya, saat ini di Indonesia sudah beroperasi maskapai AirAsia Indonesia tapi tidak mengubah harga maskapai domestik lainnya.
Menurut Nawir itu karena AirAsia Indonesia hanya diberikan rute domestik yang terbatas sehingga juga terjadi diskriminasi di dalam pasar terhadap maskapai ini.
Hal lain yang menyebabkan tarif tiket pesawat mahal, lanjutnya, karena kerja sama antara travel agent dan maskapai domestik. Itu menjadi bentuk diskriminasi di dalam pasar sehingga membuat AirAsia Indonesia semakin tersingkirkan.
"Saat ini bisa kita lihat di beberapa travel agent yang menggunakan aplikasi, tidak ada AirAsia Indonesia. Kini AirAsia Indonesia terpaksa berjualan menggunakan platform yang mereka miliki sendiri," imbuhnya.
Praktek joint operation dari 7 maskapai juga menjadi pemicu adanya upaya penyesuaian harga. Menurut Nawir, 7 maskapai ini sudah cukup memunculkan iklim kompetisi yang sehat.
KPPU dinilai perlu melihat kembali apakah joint operation sudah legal atau berpengaruh terhadap kondisi pasar maskapai domestik. "Perlu ada audit mendalam mengenai joint operation ini," ujarnya.
Selain itu, menurut Nawir, tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) perlu dicabut karena dinilai merugikan konsumen. Kebijakan itu akan membuat harga tiket mahal saat musim sepi (off-season). Akibatnya, akan mengubah pola konsumsi masyarakat.
"Kita akan semakin kesulitan untuk berhemat dengan cara melakukan pembelian di bulan-bulan sebelum tanggal keberangkatan karena harganya akan tidak jauh berbeda dan cenderung masih mahal." tutupnya.
Saksikan video mengenai usulan pemberian izin bagi maskapai asing untuk turunkan harga tiket pesawat berikut ini.
(prm)
http://bit.ly/2XQKXLL
June 17, 2019 at 01:54PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Harga Tiket Pesawat Naik Gara-gara Kartel Hidup Lagi"
Post a Comment