
Pada hari Rabu (24/4/2019) ini, harga karet kontrak pengiriman Oktober berada di level JPY 189,6/kg, atau telah naik 11,4% sejak awal tahun 2019.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, tiga anggota International Tripartite Rubber Council (ITRC) yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia telah sepakat untuk mengurangi ekspor hingga 240.000 ton selama 4 bulan mulai bulan April 2019.
Dalam kesepakatan tersebut, kuota Thailand mencapai 126.240 ton, karena merupakan produsen karet terbesar di dunia. Sedangkan Indonesia dan Malaysia kebagian jatah pengurangan ekspor karet masing-masing sebesar 98.160 ton dan 15.600 ton.
Alasan dibalik keputusan tersebut adalah harga karet yang sudah jatuh sangat dalam. Bahkan pada tanggal 21 November 2018 silam, harga karet hanya sebesar JPY 152,9/kg atau merupakan posisi paling rendah dalam 27 bulan (2 tahun 3 bulan) terakhir.
Dengan adanya kebijakan tersebut, pasokan karet global dapat berkurang secara signifikan. Terlebih ITRC merupakan produsen karet terbesar di dunia, yang menyumbang 66% terhadap total produksi karet global.
Akan tetapi, pada tanggal 22 Maret 2019 silam, Thailand mengatakan akan menunda pemangkasan ekspor karet. Pemilihan umum yang digelar pada tanggal 24 Maret menjadi alasan keputusan tersebut.
"Berdasarkan kesepakatan Senior Official Meeting (SOM), pengurangan ekspor Indonesia dan Malaysia tetap akan dilangsungkan mulai 1 April, sedangkan Thailand mulai 12 Mei," ujar Kasan, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan RI, mengutip Reuters, Senin (25/3/2019).
Alhasil pengurangan pasokan belum akan optimal hingga Thailand ikut serta, yaitu mulai 12 Mei. Penguatan harga karet bulan ini pun menjadi agak terbatas. Yah meskipun terus menguat.
Itu pun juga dibantu beberapa sentimen lain, seperti aktivitas manufaktur negara utama Asia yang lumayan kinclong.
Pada bulan April, Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Negeri Sakura dibacakan sebesar 49,5. Meskipun angka di bawah 50 mencerminkan kontraksi aktivitas industri manufaktur, namun nilainya merupakan yang tertinggi dalam 3 bulan terakhir.
China pun demikian, dua bulan berturut-turut (Februari-Maret) PMI manufaktur China selalu meningkat dibanding bulan sebelumnya. Bahkan pada bulan Maret PMI manufaktur China mencapai 50,8 atau yang tertinggi sejak Juli 2018.
Ini menandakan bahwa perlambatan ekonomi yang melanda sudah melewati titik terendahnya. Saatnya untuk kembali berlari.
Saat industri-industri kembali bergairah, maka kebutuhan karet pun berpotensi meningkat. Terutama pada industri-industri ban kendaraan bermotor, yang mana paling banyak menyerap pasokan karet dunia.
Selain itu harga minyak bumi yang sudah kelewat tinggi membuat karet alam bisa bersaing sehat dengan karet sintetis. Pasalnya di berbagai industri, seperti otomotif, karet sintetis sudah bisa menggantikan posisi karet alam.
Hingga hari Rabu (24/4/2019) pukul 14:00 WIB, harga minyak jenis Brent sudah melesat hingga 37,84% sejak awal tahun 2019. Sedangkan WTI meroket 45,3%.
Minyak bumi merupakan salah satu bahan baku produksi karet sintetis. Harga bahan baku yang mahal tentu saja membuat ongkos produksi makin tinggi.
Kala harga karet sintetis membuncah, peta permintaan konsumen pun beralih ke karet alam. Akhirnya permintaan meningkat dan mendorong pergerakan harga ke atas.
Maka dari itu, andai saja Thailand tidak menunda pembatasan ekspor, maka harga karet berpotensi terbang lebih tinggi. Petani pun akan diuntungkan bila itu terjadi.
Sebagai catatan, harga karet berjangka di bursa TOCOM seringkali dijadikan acuan harga karet di kawasan Asia Tenggara. (taa/gus)
http://bit.ly/2INwawO
April 24, 2019 at 09:53PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tiga Sekawan Ini Bikin Harga Karet Terus Meroket"
Post a Comment