Search

Sedihnya Industri Manufaktur di Era Jokowi-JK

Jakarta, CNBC IndonesiaPresiden Joko Widodo (Jokowi) hari ini kembali menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan sosok yang berpengalaman untuk menjadi pemimpin. Hal itu ia sampaikan di depan puluhan ribu pendukungnya dalam kampanye akbar di Gelora Bung Karno (GBK) hari Sabtu (13/4/2019).

Memang benar, untuk mengurus rakyat yang lebih dari 250 juta jiwa tidaklah mudah. Pengetahuan, pengalaman, dan niat yang tulus boleh jadi akan membantu pemimpin untuk membawa NKRI ke arah yang lebih baik.

Namun seperti apa sih potret 'pengalaman' yang sudah dilakukan oleh Jokowi sejak Oktober 2014 hingga saat ini?


Setidaknya untuk urusan industri manufaktur, agaknya pengalaman Jokowi tak bisa dijadikan bahan 'jualan'.

Pasalnya sejak tahun 2015 , pertumbuhan adil industri manufaktur terhadap perekonomian Indonesia terus mengalami penurunan.

Tengok saja angka sumbangsih sektor manufaktur pada periode 2015-2018. Nilainya terus mengalami penurunan. Bahkan pada tahun 2018 hanya mencapai 19,86%. Tak sampai 20%. Padahal pada tahun 2014 masih bisa meningkat dibanding tahun sebelumnya.

Ini menunjukkan pertubuhan ekonomi Indonesia semakin meninggalkan kemajuan peradaban. Gampangnya ini merupakan salah satu gejala deindustrialisasi.

Masyarakat dibuat lebih tertarik untuk berjualan komoditas mentah ketimbang mengolahnya menjadi produk yang lebih memiliki nilai tambah.

Alhasil, perekonomian Ibu Pertiwi menjadi sangat rentan terhadap faktor-faktor eksternal.

Bukan tanpa bukti. Pada tahun 2018, neraca perdagangan luar negeri (ekspor-impor) mengalami defisit sebesar US$ 8,54 miliar (setara ) dan merupakan yang paling parah sepanjang sejarah Indonesia.

Defisit hanya dapat terjadi apabila nilai impor barang lebih besar dibanding ekspornya. Saat itu penyebabnya adalah harga-harga komoditas ekspor andalan Indonesia yang berjatuhan.

Tercatat harga rata-rata minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) tahun 2018 melemah hingga 9,1% dibanding tahun 2017. Sama halnya dengan harga karet yang turun hingga 20,1%.

Di sisi lain, komoditas minyak bumi yang merupakan kebutuhan impor malah meroket. Harga rata-rata minyak Brent tahun 2018 naik 30,9% dari tahun sebelumnya.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa harga global, yang mana merupakan faktor eksternal sangat mudah mempengaruhi perekonomian.

Tak berhenti sampai di situ, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada tahun 2018 juga membengkak. Bahkan mencapai US$ 31 miliar, atau setara 2,98% PDB. Itu merupakan yang paling parah sejak tahun 2014.

Sebagai informasi, neraca transaksi berjalan (current account) mencerminkan aliran uang yang keluar/masuk Indonesia dari perdagangan barang dan jasa. Kala defisit terjadi, artinya lebih banyak uang yang keluar dibanding yang masuk.

Taruhannya adalah nilai tukar rupiah. Mata uang kebanggaan Merah Putih menjadi kurang energi untuk menahan tekanan mata uang lain. sepanjang tahun 2018, rupiah tercatat melemah 5,97% terhadap dolar.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/taa)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2UU8HjW

April 14, 2019 at 02:49AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Sedihnya Industri Manufaktur di Era Jokowi-JK"

Post a Comment

Powered by Blogger.