Senior Analyst and Vice President PT Samuel Sekuritas Indonesia, Muhammad Alfatih menjelaskan, dalam kacamata investor ada risiko dalam pembukukuan laporan keuangan Garuda, yaitu gagalnya penerimaan.
"Investor tidak tahu persis isi perjanjiannya. Tanpa penerimaan ini, Garuda masih rugi. sementara harga minyak dunia tinggi dan rupiah masih melemah yang menambah risiko bagi kinerja emiten ini," kata Alfatih, kepada CNBC Indonesia, melalui pesan singkat, Senin (29/04/2019).
Berdasarkan laporan keuangan Garuda Indonesia 2018, perseroan tercatat membukukan laba bersih senilai US$ 809,85 ribu pada 2018, setara Rp 11,49 miliar (kurs Rp 14.200/US$). Padahal tahun sebelumnya perseroan mengalami kerugian cukup besar US$ 216,58 juta.
Laba bersih ini dibukukan ketika perusahaan justru mencatatkan perlambatan pendapatan.
Total pendapatan tahun lalu hanya naik 4,69% year-on-year (YoY) menjadi US$4,37 miliar dibandingkan pencapaian 2017 senilai US$4,18 miliar.
Pada 2017 pendapatan Garuda tumbuh 8,11% dibandingkan pendapatan 2016.
Intinya, secara operasional perusahaan penerbangan pelat merah ini mestinya merugi karena total beban usaha yang dibukukan perusahaan tahun lalu mencapai US$4,58 miliar, alias US$ 206,08 juta lebih besar dibandingkan pendapatan yang dibukukan pada tahun 2018.
Namun dalam laporan keuangan 2018, kinerja tahun lalu diselamatkan oleh 'pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten' pada 2018 senilai US$ 239,94 juta (sekitar Rp2,9 triliun), yang tidak ada pada laporan keuangan 2017.
Pendapatan dicatat karena ada kontrak dengan PT Mahata Aero Teknologi.
Pada 31 Oktober 2018, Grup Garuda, termasuk Sriwijaya Air, mengadakan perjanjian kerja sama dengan Mahata untuk penyediaan layanan hiburan dan konektivitas dalam penerbangan (wi-fi on board) yang disetujui pada 26 Desember 2018.
Pencatatan atas kontrak inilah yang kemudian ditolak oleh dua komisaris Garuda Indonesia. Terdapat beberapa pos keuangan yang pencatatannya tak sesuai standar akuntansi yang membuat kinerja Garuda Indonesia untung pada 2018, padahal seharusnya merugi.
Begini Penjelasan Faisal Basri Soal Lapkeu Garuda yang Janggal
[Gambas:Video CNBC]
Keberatan mereka sampaikan terkait kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan. Dalam dokumen yang didapat oleh awak media, tertulis bahwa dua komisaris ini Chairal Tanjung dan Dony Oskaria yang menolak menandatangani laporan keuangan Garuda 2018.
Keduanya merupakan perwakilan dari PT Trans Airways, pemegang saham Garuda Indonesia dengan kepemilikan sebesar 25,61%.
Menurut Catatan tersebut, hingga akhir 2018 belum ada pembayaran yang masuk dari Mahata Aero Teknologi. Walau begitu, Garuda Indonesia dalam laporan keuangan sudah mengakuinya sebagai pendapatan tahun lalu.
Dari pihak Trans Airways berpendapat angka itu terlalu signifikan hingga mempengaruhi neraca keuangan Garuda Indonesia. Jika nominal dari kerja sama tersebut belum masuk sebagai pendapatan, perusahaan sebenarnya masih merugi US$244.958.308.
Menurut Alfatih, dalam jangka pendek pergerakan saham Garuda mungkin masih bisa merangkak naik. Ini tampak dari pergerakan harga saham pagi ini yang tercatat menguat 0,85% ke level Rp 474/saham.
"Dalam jangka pendek mungkin ada kenaikan harga. Namun agak sulit mengharapkan harga membentuk new all-time high, apalagi perbedaan pendapat diantara komisaris sudah diketahui umum," tandas Alfatih.
(hps/tas)
http://bit.ly/2DEd2xJ
April 29, 2019 at 05:23PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Lapkeu Janggal, Investor Berpotensi Cuekin Saham Garuda"
Post a Comment