
Soal perekonomian, investasi selalu menjadi elemen yang krusial. Indonesia bisa dikenal sebagai negara yang lihai dalam tarik-menarik dana asing di pasar modal.
Berdasarkan data Kustodian Senteral Efek Indonesia (KSEI), per September 2019, pemodal asing diketahui memiliki 50,6% dari saham yang tercatat di KSEI.
Di pasar obligasi, melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 14 Oktober 2019, investor asing menguasai senilai Rp 1.032,72 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan atau setara dengan 38,42%.
Kendati demikian, apabila berbicara mengenai investasi riil (membangun pabrik), penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) merupakan hal yang paling utama, bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment.
Sayangnya, pertumbuhan realisasi PMA pada tiga bulan kedua tahun ini perlu diwaspadai. Pasalnya, salah satu penyebab kenaikan realisasi PMA pada kuartal II-2019 adalah low-base effect.
Realisasi PMA pada kuartal II-2018 terbilang rendah sehingga tak sulit untuk membukukan pertumbuhan pada kuartal II-2019. Pada kuartal II-2018, realisasi PMA tercatat senilai Rp 95,7 triliun. Realisasi PMA tersebut merupakan realisasi PMA kuartal II terendah sejak tahun 2015.
Pada kuartal I-2019 dan kuartal II-2019, investasi (bagian dari perhitungan PDB menggunakan pendekatan pengeluaran) tercatat tumbuh masing-masing sebesar 5,03% dan 5,01% secara tahunan. Pertumbuhan yang hanya di batas bawah 5% tersebut jauh merosot jika dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal I-2018 dan kuartal II-2018, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 7,95% dan 5,87% secara tahunan.
Pada kuartal III-2019, ada kemungkinan bahwa pertumbuhan pos investasi justru akan melorot ke bawah level 5%. Pasalnya, aktivitas sektor manufaktur Indonesia diketahui selalu membukukan kontraksi pada bulan Juli, Agustus, dan September.
Investasi Ada Ditangan Kestabilan Politik
Lantas, apa hubungannya investasi dengan keputusan Prabowo untuk berada di dalam atau di luar koalisi Jokowi? Ternyata, kedua hal ini berkaitan erat.
Bank Dunia (World Bank) melakukan survei kepada 754 perusahaan internasional dan hasilnya dituangkan dalam publikasi berjudul Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018.
Ternyata, kestabilan politik dan keamanan merupakan faktor utama bagi investor dalam menentukan lokasi penanaman modal. Sebanyak 50% responden menyebut bahwa kestabilan politik dan keamanan sangatlah penting bagi mereka, sementara 37% menilainya sebagai faktor yang penting.
Ketika Gerindra yang merupakan partai dengan kursi terbanyak ketiga di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bergabung ke pemerintah, hampir bisa dipastikan setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dilempar oleh pemerintah ke parlemen akan bisa digolkan tanpa adanya gesekan politik yang berarti.
Hal ini tentu menjadi penting, mengingat di periode dua Jokowi banyak kebijakan baru yang krusial bagi perekonomian Indonesia dan memerlukan restu dari parlemen, salah satunya adalah terkait pemangkasan pajak korporasi.
Jika kebijakan-kebijakan krusial yang penting bagi perekonomian bisa digolkan dengan cepat, minat investor asing untuk menanamkan dananya di Indonesia bisa dipacu yang pada akhirnya akan membuat roda perekonomian berputar lebih kencang.
Partai Jokowi tanpa Gerindra sekalipun sebenarnya sudah semakin gemuk dibandingkan periode satu. Tapi untuk meredam itu, sebenarnya posisi menteri ekonomi jadi salah satu cara. Caranya menteri ekonomi bisa dialokasikan ke tangan-tangan yang memang mumpuni, rasanya koalisi yang semakin gemuk tak menjadi masalah.
Sumber dari CNBC Indonesia menyebut bahwa Sri Mulyani Indrawati masih akan dipercaya untuk menempati posisi Menteri Keuangan di periode kedua pemerintahan Jokowi. Kalau ini benar yang terjadi, tentu menjadi kabar yang sangat positif bagi perekonomian Indonesia.
Pasalnya, di tengah menantangnya kondisi perekonomian global di periode satu pemerintahan Jokowi, Sri Mulyani berhasil menjaga realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pelaku pasar pun sejauh ini menanggapi dengan gembira peluang terpilihnya kembali Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Pelaku pasar yang merupakan CEO sebuah lembaga pemeringkat internasional mengatakan bahwa Sri Mulyani sudah pas ditempatnya dan ada baiknya dipertahankan sebagai Menteri Keuangan.
"Dua jempol untuk Sri Mulyani bisa menjaga stabilitas fiskal dan makro secara baik di tengah gempuran ketidakstabilan kondisi ekonomi global," tuturnya.
Sementara itu, kalangan bankir berpendapat sama.
"Sri Mulyani mengetahui dengan pasti kondisi keuangan negara dan tak ada lagi yang bisa menggantikannya untuk saat ini," terang salah seorang bankir senior.
Pada akhirnya, walaupun sempat membuat satu Indonesia panas dingin, saat ini memang opsi terbaik bagi bangsa ini adalah Partai Gerindra merapat ke koalisi Jokowi. Seperti yang sudah disebutkan di atas, merapatnya Partai Gerindra merapat ke koalisi Jokowi akan membuat setiap RUU yang dilempar oleh pemerintah ke parlemen hampir bisa dipastikan akan digolkan dengan cepat.
Namun, walau nantinya Partai Gerindra merapat ke pemerintah, Jokowi tetap harus bijak dalam mengalokasikan kursi menteri ekonomi untuk orang-orang yang memang sangat kredibel seperti Sri Mulyani. (sef/sef)
https://ift.tt/2J2TCpc
October 18, 2019 at 01:59PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Berkah atau Musibah Kalau Prabowo Masuk Kabinet Jokowi?"
Post a Comment