Skandal Jiwasraya dimulai dari produk asuransi bernama JP Saving Plan. Ini adalah produk asuransi jiwa berbalut investasi yang ditawarkan melalui bank (bancassurance).
Produk Saving Plan ini mengawinkan produk asuransi dengan investasi seperti halnya unit link. Bedanya, di Saving Plan risiko investasi ditanggung oleh perusahaan asuransi, sementara risiko investasi unit link di tangan pemegang polis.
Ada tujuh bank yang menjadi penjual yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), Standard Chartered Bank, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), PT Bank QNB Indonesia, PT Bank ANZ Indonesia, PT Bank Victoria International Tbk (BVIC), dan PT Bank KEB Hana.
Total polis jatuh tempo atas produk ini pada Oktober-Desember 2019 ialah sebesar Rp 12,4 triliun. Manajemen baru Jiwasraya menegaskan tidak akan sanggup membayar polis nasabah yang mencapai triliunan itu.
Manajemen mengaku kesulitan keuangan.Hal ini disebabkan kesalahan investasi yang dilakukan oleh manajemen lama Jiwasraya.
Perseroan sempat menyatakan rasio kecukupan modal perusahaan atau Risk Based Capital (RBC) minus hingga 850%. RBC adalah rasio solvabilitas yang menunjukkan kesehatan keuangan perusahaan asuransi, di mana semakin besar maka makin sehat pula kondisi finansialnya.
Angka ini sangat jauh dari ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Syarat modal minimum yang harus dipenuhi oleh perusahaan asuransi baik umum atau jiwa adalah 120%.
Dalam Dokumen Penyelamatan Jiwasraya yang diperoleh CNBC Indonesia, disebutkan untuk mencapai nilai RBC sampai 120%, dibutuhkan dana sebesar Rp 32,89 triliun.
Dana tersebut terdiri dari kebutuhan pemenuhan RBC sebesar Rp 2,89 triliun dan adanya total ekuitas setelah terjadi impairment asse yakni sebesar Rp 30,13 triliun.
Impairment asset adalah penurunan nilai aset karena nilai tercatat aset (carrying amount) melebihi nilai yang akan dipulihkan.
Hingga September 2019 ekuitas negatif Jiwasraya sebesar Rp 23,92 triliun, sementara kewajiban mencapai Rp 49,60 triliun.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Jiwasraya dengan Komisi VI DPR RI pada awal pekan ini, manajemen BUMN asuransi jiwa itu mengungkapkan 'wajah' laporan keuangan dan ke mana saja investasi dilakukan. Direktur Utama Asuransi Jiwasraya Hexana Tri Sasongko menjelaskan merahnya wajah laporan keuangan perusahaan BUMN tersebut karena sebelumnya BUMN ini gagal mengelola aset yang dimiliki, di antaranya memilih instrumen investasi khususnya saham.
"Untuk menuju 120% dalam hal ini menyelamatkan perusahaan dibutuhkan dana Rp 32,89 triliun," ungkap Hexana.
Dalam Dokumen Penyehatan Jiwasraya disebutkan periode penyehatan Jiwasraya terbagi dalam lima periode yakni Periode I 2006-2008, Periode II 2009-2010, Periode III 2011-2012, Periode IV 2013-2017, dan Periode V 2018-sekarang.
Dalam rencana penyehatan Keuangan Jiwasraya yang sudah disampaikan ke OJK, menurut management pemenuhan tingkat kesehatan keuangan minimum (RBC > 120%) diproyeksikan baru akan tercapai tahun 2028.
Melalui surat nomor 00512/JIWASRAYA/U/0519 tanggal 22 Mei 2019, perusahaan mengajukan dispensasi atas pengenaan sanksi pemenuhan tingkat kesehatan keuangan minimum sampai dengan tahun 2028.
Foto: Infografis/Ini 12 Masalah Pemicu Gagal Bayar Jiwasraya Rp 12,4 T/Arie Pratama
|
https://ift.tt/2ZdHmZG
December 22, 2019 at 06:36PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Mengenal Skandal Jiwasraya yang Kata Jokowi Berat"
Post a Comment