Search

2019, Tahun Suramnya Industri Tekstil

Jakarta, CNBC Indonesia - Ada banyak peristiwa yang terjadi sepanjang tahun ini, dan CNBC Indonesia merangkum kembali berita-berita terpopuler selama 2019. Salah satu yang mendapat sorotan adalah industri tekstil.

Ya, industri tekstil tahun ini mendapat tekanan yang luar biasa. Besarnya keran impor bahan baku di sektor hulu menyebabkan pabrik-pabrik menjadi tercekik. Bahkan tidak sedikit pabrik yang harus rela gulung tikar.

Setidaknya ada 9 pabrik dilaporkan tutup akibat kalah bersaing dengan produk impor dalam kurun waktu 2018-2019. Hal itu kemudian merembet pada sektor tenaga kerja. Ribuan pekerja menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah pabrik tidak beroperasi.


"Makin banyak kita impor untuk tujuan pasar domestik dalam kondisi yang sekarang, pasti berdampak kepada lapangan kerja," kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menjawab pertanyaan perihal PHK di industri TPT di menara Kadin, Jakarta, Senin (9/9/2019).
Namun, Ade enggan membeberkan nama perusahaan tersebut. Perusahaan yang tutup berada di sektor pertenunan dan perajutan atau di hulu.

"Sekarang yang sudah tutup yang kami catat, sudah ada beberapa, kalau nggak salah 9 perusahaan yang hampir mendekati 2 ribu orang (pekerja)," katanya.

Hal ini diakui Wakil Sekretaris Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Rizal Tanzil. Dia mengungkapkan dari 200 perusahaan TPT di Jawa Barat, mayoritas kondisinya mengalami persoalan dengan arus kas keuangan. Ditambah, persoalan upah tinggi di Jawa Barat menyebabkan beberapa pabrik direlokasi ke wilayah Jawa Tengah yang memiliki lebih upah rendah.

"Kondisi tekstil kita sedang masa sulit, impor banyak, produksi turun, tak bisa jual barang, keuangan sulit, dampaknya karyawan dirumahkan, bahkan ada yang PHK," katanya kepada CNBC Indonesia, Kamis (29/8/2019).

Dari segi makro juga bisa terlihat. Penurunan terjadi pada serapan industri hulu tekstil. Sepanjang Q1 tahun 2019, industri tekstil menurun 1%, padahal di quarter sebelumnya mampu bertumbuh sebesar 6%.

Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI), Redma Gita Wirawasta menilai kebijakan Permendag No. 64 Tahun 2017 menggantikan Permendag No 85 tahun 2015 membuat impor makin banyak.

"Pasar domestik sebetulnya harusnya jamnan pasar bagi industri ini suoaya bisa hidup. Yang masalah pasar domestik sangat dibuka dengan Permendag 64, jadi kita gak bisa berjualan juga," katanya kepada CNBC Indonesia.

Banjir impor tekstil ini pun mengarah ke Pusat Logistik Berikat (PLB) dan non PLB yang melanggar ketentuan impor, perpajakan, hingga kepabeanan. Termasuk Pusat Logistik Berikat (PLB) yang berada di Sunter Jakarta Utara.

Namun, Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi menyebut bahwa penyebabnya adalah nakalnya sejumlah importir dalam memainkan angka pengenal impor (API) dalam proses pemasukan barang.

"Impor bisa melalui pelabuhan, pelabuhan laut, udara dan pusat logistik berikat, kawasan berikat dan seterusnya. Kalau kita liat komposisinya, yang melalui PLB, TPT ini hanya 4,07% dari keseluruhan impor yang kita catat. Jadi artinya Porsi relatif sangat kecil," katanya di Kemendag, Jumat (11/10).


Heru juga mengklaim mekanisme informasi penerimaan barang impor di PLB melalui verifikasi yang berjenjang. Mulai dari sebelum kedatangan kontainer yang sudah dicek di PLB. Selain itu, PLB juga menggunakan ketentuan inventori sistem dan CCTV serta dilakukan secara real time.

Soal penyimpangan proses impor, pada 2018 lalu, Bea Cukai mengklaim telah melakukan 430 penindakan dengan nilai Rp171,34 miliar. Di tahun ini, hingga bulan September sudah ada 406 penindakan dengan nilai Rp 138,11 miliar.

[Gambas:Video CNBC]

(dob/dob)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/37rGX94

January 01, 2020 at 06:59PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "2019, Tahun Suramnya Industri Tekstil"

Post a Comment

Powered by Blogger.