Search

Sisi Gelap Rempah: Perbudakan, Perompakan, Kekerasan Seksual

Jakarta, CNBC Indonesia - Komoditas rempah menjadi rebutan bagi negara lain yang datang ke Nusantara pada masa kolonial berabad silam yang lalu.

Tapi siapa sangka bahwa gambaran kemakmuran itu diselimuti bayang-bayang penderitaan, seperti kisah perbudakan, kekerasan seksual, dan perompakan.

Adalah Junus Satrioatmodjo, seorang Arkeolog dari Universitas Indonesia yang memaparkan hal tersebut dalam sesi diksusi International Forum on Spice Route 2019 di Museum Nasional, Jakarta, beberapa waktu lalu. Junus mengungkapkan bahwa setengah pelaut pada masa kedatangan bangsa Portugis sampai VOC ke Nusantara ialah kriminal.


Para kriminal itu merupakan orang-orang terbuang dari lingkungan sosial di negara asalnya. Mereka berlayar untuk mencari sebuah pelarian. Namun, tidak semua orang yang melaut berdasar atas keinginan mereka. Di antaranya ada korban-korban penculikan yang terpaksa menjadi budak dan mengarungi lautan selama 5 sampai 6 tahun.


Para pelaut yang sukarela maupun dipaksa dipekerjakan sebagai tukang kapal atau sekadar bersih-bersih lantai. Junus mengatakan mereka yang datang dari India, Eropa, Persia, Arab, dan China ke Nusantara, lalu kemudian membawa rempah adalah orang yang terbiasa dengan daratan.

Terombang-ambing bertahun-tahun di lautan membuat mereka berfantasi bahkan melakukan penyimpangan seksual.

"Mereka selalu berimajinasi ketika singgah di pelabuhan supaya bisa tidur di tempat yang empuk (perempuan). Pelacuran adalah kultur pelayaran dan wanita yang diidamkan saat itu ialah yang berpostur gemuk," kata Junus saat pemaparan dalam diskusi.

"Sisi gelap dari pelayaran lainya juga terjadi homoseksual. Hal ini disebut dalam naskah Persia lama," tambahnya.

Pelacur dan pelayaran adalah bagian yang tidak terpisahkan. Junus memaparkan cerita perompak asal Filipina Selatan yang pergi ke pulau dan desa untuk mengambil wanita sebagai pelacur. Beberapa ada yang dijual. Tetapi tidak semua pelacur datang karena terpaksa.

Konteks pelacuran adalah negatif. Namun tidak buat para pelayar. Mereka yang mendarat berusaha menjadi manusia kembali. Junus berkata bahwa pelaut juga menghadapi tekanan lain seperti kematian dan tekanan dari nahkoda kapal.

Sisi Gelap Rempah: Perbudakan, Perompakan, Kekerasan SeksualFoto: Ilustrasi rempah (Foto: CNBC Indonesia/ Fikri Muhamad)

Pada CNBC Indonesia, Junus menjelaskan mengapa jalur rempah identik dengan perompakan. Pelayaran yang saat itu sibuk karena perdagangan rempah dari berbagai macam negara yang datang ke Nusantara dianggap sebagai sebuah harta karun di lautan.

Ide dari perompak adalah siapapun yang berlayar di lautan harus membayar pajak ketika masuk dalam kawasan teritorialnya. Bahkan, hal ini juga berlaku pada kerajaan-kerajaan yang saat itu berkuasa.

"Seperti Kerajaan Cola, Tamil, India Selatan yang perang dengan Sriwijaya. Mereka menyerbu ke Kedah untuk menghancurkan dominasi Sriwijaya. Apa yang mereka lakukan? Perebutan jalur rempah yang mereka ambil," kata Junus pada CNBC Indonesia.

"Dan ketika melakukan perebutan mereka merompak juga. Tiap kapal yang lewat di ambil habis rempah rempahnya," ujarnya.

Kerajaan yang melakukan perompakan adalah sebuah upaya agar ia diakui. Bahkan Perancis dan Inggris pun melakukan hal yang sama.


Selain pengakuan kuasa, Junus mengungkapkan bahwa itu juga berfungsi untuk efisiensi biaya dan waktu. Kapal yang biasanya berlayar dan balik ke negaranya selama 2 tahun menjadi 1 tahun karena kebutuhan rempah sudah terpenuhi dengan upaya perompakan.

Dave Lumenta, seorang Antropolog dari Universitas Indonesia juga membedah soal pelaut dan sisi kelamnya. Kisah para pelaut yang melarikan diri dan budak yang dibawa ke pelayaran adalah kisah keterasingan manusia, menurutnya. Karena untuk memperkuat negara bukan hanya melalui jalur diplomasi dan senjata tapi juga memperkuat maritim.

Harga rempah yang mahal juga meyakinkan Dave bahwa itu adalah bahan komoditas yang sangat diperebutkan negara/kerajaan saat itu. Pada CNBC Indonesia, Dave mengatakan logika sederhana dari perompakan rempah adalah investasi untuk mengirit ongkos.

"Ya sama aja komoditas apapun yang sangat berharga pasti rawan. Kontemporer, bajak laut di Selat Malaka yang diincar adalah kapal tanker. Saya kira tidak beda dengan perompak rempah di masa lalu," ujarnya.

"Karena orang banyak invest untuk rempah, sangat menguntungkan jika kita tunggu kapal yang bawa rempah lalu kita rebut. Kita invest banyak cost. Itu logika sederhana dari piracy," kata Dave.

Sisi Gelap Rempah: Perbudakan, Perompakan, Kekerasan SeksualFoto: Foto/Ilustrasi Rempah-Rempah/Fikri Muhammad/CNBC Indonesia

Namun ia menambahkan bahwa perompakan yang terjadi di masa lalu adalah sebuah proxy dari sebuah negara, yakni ketika sebuah negara menggunakan pihak ketiga untuk kekuatan militer dan politiknya. Bahkan perompak bukan dianggap sebagai kriminal tapi orang yang berjasa pada negara.

"Misalnya ada kerajaan yang bersaing, menggunakan proxy dari bajak laut. Itu yang banyak dilakukan Kesultanan seperti di Selat Malaka. Dulu bisa dibilang ada bajak laut dari State Sanctioned, direkrut oleh State (negara)."

"Makanya bajak laut zaman dulu tidak dilihat sebagai kriminal. Tapi dilihat sebagai jasa untuk negara. Bahkan Inggris saat di Karibia dia melakukan itu. Tapi dengan membawa Raja atau Ratu," ucap Dave. (prm)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2YgTzMk

March 25, 2019 at 01:29AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Sisi Gelap Rempah: Perbudakan, Perompakan, Kekerasan Seksual"

Post a Comment

Powered by Blogger.