Memiliki pendidikan di bidang pertanian, Bagas mengaku mengenal sektor dari perguruan tinggi dan dari kampung halamannya di Klaten, Jawa Tengah.
"Awalnya saya bekerja di dunia pertanian saat di Jawa dan segala pekerjaan dan saya memang mengambil perguruan tinggi itu. Tani sebenarnya otodidak dan basic-nya dari kampung juga sudah tani. Orang tua saya tani juga tapi palawija bukan hortikultura," kata Bagas kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.
Kemudian sekitar tahun 2002, Bagas bekerja di perusahaan kargo Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang. Saat pulang kerja, Bagas melihat petani sayuran. Kebetulan keluarga Bagas dan rekannya merupakan penjual sayur di Kebayoran Lama.
"Saya coba belajar supply dan enggak mudah bersaing harga. Saya coba selidiki ternyata yang bisa jual harga murah adalah tani itu sendiri. Itu artinya saya harus buka pertanian dan melihat di lokasi ini," ujar dia.
Foto: Linda Sari Hasibuan
|
Menurut Bagas, pertama kali bertani, dia mencoba menyewa di atas lahan seluas 3.000 meter. Setelah berkembang dan panen, Bagas pun melebarkan lahannya hingga menjadi 26 hektare.
Pertama kali jenis tanaman sayuran yang dia tanam pun adalah kangkung, bayam, sawi dan mulai berkembang menjadi buah-buahan. Berbicara omzet dia pun tak menyebut angka pasti, namun sekitar puluhan juta per hari bisa dia kantongi.
Saat ini, Bagas telah mengelola 26 hektare lahan dan dibantu 26 orang karyawan. Menariknya tanah tersebut adalah lahan sewaan milik beberapa perusahaan.
Beberapa pekerja taninya pun lebih di dominasi dari petani daerah sedangkan penduduk setempat lebih dipekerjakan di bagian pengemasan. Ambisi Bagas yang tidak bisa diragukan kini telah menghasilkan 16 item hasil tani seperti bayam, kangkung, kemangi, terong, cabai, labu, selada, daun pepaya, dan daun ubi. Setiap hari panen.
Foto: Linda Sari Hasibuan
|
Berlokasi tak jauh dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, lahan pertanian Bagas menghasilkan produk yang didistribusikan ke pasar tradisional serta jaringan supermarket atau pasar ritel di Jabodetabek. Dalam mematok harga, Bagas menerapkan prinsip hukum pasar. Sementara kalau perusahaan memilih kontrak.
"Kita setiap hari panen karena kita sistemnya ada yang nyangkul, menanam dan terus berputar sirkulasinya, kata dia.
Tidak hanya fokus menggarap lahan hortikultura, Bagas juga mengajak anak-anak muda yang menganggur untuk ikut bertani dan mengajari anak-anak pondok pesantren Al Hasaniyah di lokasi Kampung Rawa Lini agar bisa mandiri setelah lulus. Tak heran dia pun ditetapkan sebagai panutan oleh Kementerian Pertanian untuk membina petani lain.
"Sebenarnya kalau panutan itu adalah dari simbiosis mutualisme, saling menguntungkan dalam arti masyarakat di sini bisa kontribusi juga dan nambah penghasilan mereka. Jadi sama-sama saling bantu dan kita juga malam minggu ada pengajian sama warga dan anak-anak santri. Mereka saya tawarkan bercocok tanam dan budidaya. Alhamdulillah mereka tertarik," ujar dia.
Simak video Bagas membangun usahanya di bawah ini.
(miq/miq)
https://ift.tt/2TVgVYw
March 17, 2019 at 09:45PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah Petani di Pinggiran Jakarta Beromzet Jutaan Rupiah"
Post a Comment