Search

Boseh: Antara Model Bisnis Startup dan Subsidi Pemkot Bandung

Jakarta, CNBC Indonesia - Keberadaan Boseh (bike sharing ala Bandung) merupakan komitmen yang kuat dari Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung guna mendorong penggunaan moda transportasi alternatif. Walaupun penggunaan dan sistemnya belum selevel kota-kota besar dunia seperti New York, Paris, London, dan Beijing.

Paling tidak Pemkot Bandung punya komitmen kuat untuk Boseh, tapi itu justru kadang jadi kelemahannya. Pengadaan sepeda Boseh dialokasi dari APBD dan menjadi aset pemerintahan Kota Bandung.


Research & Policy Manager Institute for Transportation & Development Policy Udayalaksmanakartiyasa Halim menilai pemeliharaan sistem tata kelola Boseh menghadapi kondisi yang menyulitkan.

"Pemerintah kota Bandung lebih mementingkan keamanan sepeda-sepeda Boseh daripada mengoptimalkan penggunaanya. Keterbatasan fiskal juga mengakibatkan sistem Boseh sulit untuk dikembangkan. Hal ini sangat bisa dimaklumi. Karena bike-sharing dengan model docking di kota-kota maju hampir selalu berbiaya besar dan diperlukan subsidi untuk operasionalnya," ucap Udayalaksmanakartiyasa Halim pada CNBC Indonesia via WhatsApp (9/2/2019).


Operasional bike-sharing baru-baru ini menghawatirkan perhatian publik. Paska potret kuburan sepeda warna-warni di Cina bertebaran di media masa. Lalu apakah bike-sharing bisa bertahan di Indonesia? CNBC Indonesia mencoba dengar pendapat tantangan bike-sharing di zona rimba bisnis Indonesia.

Tumpukan besi rongsok bukanlah indikasi sistem bike-sharing yang gagal menurut Udaya. Itu adalah indikasi dari model bisnis dan pengaturan yang gagal.

Udaya mengungkapkan bahwa layanan bike-sharing di China sudah membuktikan bahwa ketiadaan jalur sepeda dan tingkat keamanan bersepeda bukanlah halangan bagi warga kota. Tetapi justru dari sisi persaingan bisnis yang bersifat predatory, yang mana setiap perusahaan berlomba-lomba membanjiri jalan dengan sepeda. Menjaring pengguna ke dalam sistem mereka.

Tren bisnis start-up menjanjikan keuntungan bukan dari awal bisnisnya beroperasi. Praktik itu yang kemudian tidak suistanable. Sebelum akhirnya uang investor mulai habis dan perusahaan operator bike-sharing tumbang menurut Udaya.

Iwan Suryaputra menyingkap tentang temuan tumpukan bangkai sepeda yang menggunung di negeri tirai bambu. Sebagai Direktur dari perusahaan bike-sharing asal Indonesia bernama GOWES, Iwan menilai sistem bike-sharing Cina salah karena mengumpulkan deposit diawal.

"Jadi semua orang mau sewa sepeda harus deposit 500 sampai 600 ribu. Kalau orang tarik depositnya dan diataruh biaya operasional semua pasti kelimpungan. Kami tidak pernah memberikan tarik deposit untuk sewa sepeda. Jadi tidak ada uang yang harus saya balikan kepada orang yang memakai layanan saya," Kata Iwan di Gelora Bung Karno (8/2/2019).

Masalah berikutnya yang diyakini Iwan adalah produksi unit yang berlebihan. Terdapat gap yang jauh antara kebutuhan sepeda dan produksinya. Misalnya kebutuhan unit sepeda hanya 100 tapi diproduksi sampai 1000.

Kemudian acap kali unit bike-sharing di Cina menghalangi pintu masuk toko di bibir jalan. Membuat orang kesal bahkan menendang unit sampai rusak cakap Iwan. Investasi berlebihan ke perusahaan bike-sharing juga mengakibatkan runtuhnya bisnis disana.

Demi mengurangi kesalahan bakar uang start-up maka Iwan menerapkan GOWES pada kawasan tertutup dan menyediakan unit yang terbatas.

Belum lagi adanya pengerusakan dan pencurian. Walaupun tiap unit dilengkapi dengan teknologi IoT (Internet of Things) yang bisa melacak keberadaan sepeda. Berbeda daerah maka berbeda pula Standar Operasional Prosedur (SOP). Untuk menjaga unit-unit sepeda bike-sharing.

"Kita lihat pertama lokal behaviornya dalam melihat layanan ini. Dengan media sosial dan petugas yang berjaga kami berikan edukasi agar pengguna bisa mengerti bagaimana pemakaian yang benar. Kalau orang itu tidak peduli, maka tim yang bertugas perlu mengembalikan unit sepeda dari tempat yang sembarang ke tempat penyewaan asalnya," kata Iwan.

Sampai saat ini, pencurian unit GOWES terbilang minim. Dari 1000 lebih sepeda hanya 1 atau 2. Sementara untuk sepeda yang rusak hanya mencapai 10 sampai 20 unit sepeda.

Regulasi dinilai penting untuk menjaga stabilitas pelaksanaan bisnis bike-sharing. Setiaji dari Jakarta Smart City berucap betapa pentingnya regulasi untuk mengatur jumlah sepeda yang beredar di kota-kota besar.

Investasi besar-besaran dari Alibaba maupun Tencent pada operator utama bike-sharing di Cina dinilai Setiaji tidak menyertai perkembangan regulasi. Ia pun berharap, nantinya Jakarta sudah mengimplementasikan bike-sharing di ruang publik.

"Kami berharap pengguna bike-sharing bisa menjadi salah satu landasan kami untuk mengambil kebijkan. Sehingga Pemprov DKI Jakarta dapat melaksanakan Data Driven Policy yang dapat meningkatkan dan mengembangkan layanan transportasi umum di Jakarta," kata Setiaji pada CNBC Indonesia (8/2/2019).

Gunung bangkai sepeda di Cina tak membuat Setiaji pesimis dengan perkembangan bisnis bike-sharing di Indonesia. Karena jumlah penduduk dan mobilitas warga DKI Jakarta maka Setiaji yakin bahwa bike-sharing bisa menjadi salah satu bisnis yang akan bertahan.

"Saat ini terdapat sekitar lebih dari 10 juta jiwa warga DKI Jakarta. Angka tersebut bertambah secara signifikan pada hari kerja, diperkirakan ada tambahan sekitar 20 juta jiwa dari berbagai kota satelit di Jakarta. Angka tersebut dapat menjadi salah satu potensi bisnis yang bisa dimanfaatkan para operator bike-sharing di Indonesia," tutur Setiaji. (hps)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2NlQ7ei

February 24, 2019 at 12:44AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Boseh: Antara Model Bisnis Startup dan Subsidi Pemkot Bandung"

Post a Comment

Powered by Blogger.