Search

Pengecualian! Perbankan di Indonesia Masih Dilirik Asing

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor asing tampaknya masih ragu untuk menyuntikkan uang mereka ke industri perbankan di negara-negara Asia. Namun, sentimen keraguan ini sepertinya tidak berlaku di Indonesia.

Pada penutupan perdagangan bursa kemarin, tiga bank BUMN yang masuk kategori aset di atas Rp 30 triliun atau Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV, berhasil menduduki posisi tertinggi dalam aksi beli asing atau net foreign buy.

Ketiganya yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Bank-bank pelat merah itu masuk urutan 5 posisi tertinggi untuk net foreign buy. Total aksi beli investor asing untuk tiga bank tersebut mencapai Rp 118,04 miliar.


Ketertarikan asing ini dikarenakan ada keyakinan terhadap kinerja tiga emiten tersebut yang menorehkan pertumbuhan laba bersih positif sampai 20%. Belum lagi, BMRI, BBNI, dan BBRI akan mengusai 20% saham megaproyek layanan jasa keuangan elektronik BUMN, LinkAJa.

LinkAJa adalah jasa uang elektronik yang saat ini dioperasikan oleh PT Fintek Karya Nusantara (Finarya). Ke depan, LinkAJa akan menggabungkan layanan fintech (financial technology) BUMN, yaitu T-cash milik Telkomsel, Yap! BNI, e-Cash Mandiri dan T-Bank milik BRI, untuk menghadapi ketatnya persaingan dengan OVO dan Go-pay.


Dukungan pemerintah di sektor perbankan juga tentu menjadi kunci di sini. Tahun ini, jumlah Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digelontorkan pemerintah mencapai Rp 140 triliun dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp 123 triliun. Pemerintah juga menjaga suku bunga tahunan KUR masih di angka 7%.

Alhasil, industri perbankan tanah air masih dapat tersenyum, karena investor asing masih banyak yang berminat untuk membeli saham emiten-emiten lokal khususnya bank-bank di Indonesia.

Benar bahwa industri perbankan sudah menorehkan banyak 'luka' di mata investor. Bagaimana tidak, perbankan adalah sektor paling rawan dengan krisis keuangan yang dalam satu dekade terakhir sudah terjadi beberapa kali, 1998 dan 2008.

Berbeda dengan Indonesia, bank-bank lokal di China, India, Korea Selatan dan Jepang masih belum dilirik. Pasalnya, berinvestasi di bank-bank lokal negara tersebut masih berisiko tinggi. Melansir dari Reuters, regulasi pemerintah menjadi salah satu alasan utama sikap hati-hati para investor.


Sebagai contoh adalah penerbitan Insolvency and Bankruptcy Code (IBC). Ini adalah aturan yang mengatur kepailitan dan kebangkrutan di India. Lalu pemerintah Korea Selatan juga mensyaratkan jumlah modal tertentu untuk penerbitan bank internet dan penambahan modal bagi bank konvensional.

Sayangnya penerbitan aturan IBC di India, masih memiliki kerancuan terutama terhadap hak bagi kreditor asing. Pasalnya, jika dilihat lebih detail, kreditor asing diyakini akan memperpanjang pengajuan proses likuidasi. Efisiensi proses likuidasi adalah salah satu tujuan utama IBC.

Beda halnya dengan Korea Selatan, penerbitan ketentuan jumlah modal yang diterbitkan oleh pemerintah diyakini investor hanya akan membatasi kemampuan bank-bank lokal untuk memperbesar bisnisnya dan memperoleh lebih banyak uang. Dilansir dari Reuters, bank-bank Korea Selatan diperdagangkan pada harga terendah sejak tahun 2008.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Simak ulasan LinkAja yang jadi katalis positif bisnis bank BUMN.
[Gambas:Video CNBC]

(dwa/tas)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2CaLYFC

March 08, 2019 at 01:02AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Pengecualian! Perbankan di Indonesia Masih Dilirik Asing"

Post a Comment

Powered by Blogger.