Dalam wawancara CNBC Indonesia bersama mantan ketua Dewan Kakao Indonesia, Soetanto Abdullah, diketahui bahwa pemrosesan biji kakao di Indonesia sudah meningkat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ada tren menurun dari sisi produksi.
Masalahnya adalah tanaman kakao yang sudah tua. Ini karena rata-rata ditanam dari tahun 1980. Perlu adanya proses peremajaan dengan mengganti bibit tanaman baru.
Foto: Petani Kakao (Fikri Muhammad/CNBC Indonesia)
|
Pun Soetanto menambahkan bahwa kehadiran perusahaan coklat besar dunia seperti Mars dan Cargill membantu mencatat Indonesia menjadi pengelola kakao terbesar ketiga. Adapula perusahaan lokal ikut meningkatkan kapasitas produksi.
Total produksi kakao olahan di Indonesia sekarang berada di antara 450 ribu ton sampai 500 ribu ton per tahun. Sebanyak 20 persenya berasal dari perusahaan lokal.
Soetanto mengatakan bahwa kesejahteraan petani kakao sudah baik karena sudah bisa mengolah bahan mentah ke barang industri. Ini tentu berpengaruh pada marjin pendapatan para petani kakao di Indonesia.
"Kalau dari biji ke bentuk setengah jadi marjinya kecil. Mungkin sekitar 10 persen harga. Katakanlah sekarang harga biji rata-rata $2,1 sampai $2,2 dolar perkilo. Tapi, dari bentuk setengah jadi ke bentuk jadi itu marjinya tinggi. Bisa sampai 40 persen bahkan lebih," kata Soetanto kepada CNBC Indonesia (8/3/2019).
Kemudian, petani kakao di Gunung Kidul, Yogyakarta, pun sudah mulai meningkatkan produktivitas. Adalah Paryanto, seorang petani yang ikut tergabung dalam kelompok tani Sari Mulyo Gambiran.
Dirinya berkata bahwa saat ini sudah bukan lagi mas apetani kakao mengalami produktifitas yang rendah.
"Dulu, karena pemerintah keterbatasan anggaran maka bibit yang diberikan masih bibit asal atau selling, jadi produktivitasnya rendah. Nah, sekarang kami itu dengan adanya teknologi sambung samping, teknologi rehabilitasi tanaman ini seharusnya sudah menuju ke produktivitas tinggi. Tapi sekarang masih masa peralihan," kata Paryanto pada CNBC Indonesia (8/3/2019).
Kemudian dalam kelompok tani Sari Mulyo Gambiran sudah terdapat kurang lebihnya tanaman kakao yang berjumlah sampai 7.000 batang pohon. Kelompok tani ini memang tergolong aktif. Maklum, itu sudah ada sejak tahun 1985. Paryanto adalah generasi ke tiga dari kelompok tani tersebut.
Pria yang sudah memulai bertani kakao sejak 2004 ini juga menambahkan komoditas kakao di Gunung Kidul merupakan aktivitas sampingan. Baru hadir di masyarakat Gunung Kidul pada tahun 90-an lalu terdapat penambahan areal pada 2004 yang dilakukan oleh pemerintah.
Uniknya, di Gunung Kidul tidak ada ukuran hektare lahan kakao yang membentang luas. Dengan rumus tanam 3x3 meter, tanaman kakao ditanam berdampingan dengan tanaman lain. Bahkan juga bisa menjadi dekorasi bagi halaman rumah yang cantik.
Keuntungan kakao sepanjang tahun memang berubah. Juga bergantung pada stabilitas cuaca. Namun, petani kakao tidak merasa kawatir bila masa panen mengalami stagnasi.
"Keuntungan kakao sepanjang tahun berbuah. Ada panen raya, ada panen antara, ada panen stagnan. Toh panen stagnan ada masa berbuah. Ini yang menarik, untuk dibudidayakan di manapun karena kakao itu bisa. Sehingga kami bisa panen rata-rata paling lama 1 bulan satu kali. Bahkan saat panen raya bisa dua minggu sekali," kata Paryanto.
Foto: Petani Kakao (Fikri Muhammad/CNBC Indonesia)
|
Para petani kakao di Gunung Kidul juga sudah melangkah pada industri cokelat bernama Gun-Kid. Harga Gun-Kid pun beragam, tergantung dari jenis dan topingnya. Menurut Paryanto, ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan petani namun juga edukasi bagi masyarakat luas.
Pasalnya, cokelat yang mereka olah terbuat dari bahan-bahan yang dibuat dari bahan kakao murni. Mulai dari bubuk hingga minyaknya. Ini menjadi edukasi karena belum banyak orang yang mengetahui bahwa jika semua berbahan kakao asli, hal itu tidak menjadi masalah untuk kesehatan.
Lalu, kehadiran industri olahan juga membantu menarik minat masyarakat Gunung Kidul untuk bertani. Bahkan, petani-petani yang ingin menjual bahan kering atau yang sudah menjadi fermentasi tidak usah lagi menjualnya ke tengkulak. Kelompok tani akan membayar kakao fermentasi seharga 35 ribu rupiah untuk satu kilogramnya.
Tak kalah penting, kehadiran industri olahan juga berpengaruh pada minat kaum muda untuk bertani kakao. Dengan menunjukan eksistensi cokelat Gun-Kid, Paryanto berharap bahwa anak muda bisa ikut menanam kakao. Walaupun para turis asing acap kali membaca cokelat Gun-Kid (baca dalam Inggris: Gan Kid). Padahal itu adalah akronim dari Gunung dan Kidul.
Simak video Bagas Suratman, petani di pinggiran Jakarta, di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC] (miq/miq)
https://ift.tt/2OaBYRq
March 18, 2019 at 01:29AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Nasib Mujur Petani Kakao yang Terus Catatkan Cuan"
Post a Comment