Search

Misteri Hilangnya Kata "Hawkish" dan Menebak ke Mana Arah BI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) untuk kali pertama sejak akhir Januari tak memunculkan lagi pernyataan "hawkish" yang kerap dikemukakan setiap kali ditanya mengenai stance bank sentral di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Saat ditanya mengenai stance-nya dalam konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG), Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa kebijakan suku bunga bank sentral diarahkan pada stabilitas eksternal.

"Sekali lagi, kalau terkait dengan kebijakan suku bunga, kami arahkan ke stabilitas eksternal. Sementara untuk likuiditas kita kendorkan," tegas Perry di gedung BI Jakarta, Kamis (21/2/2019).

Di rapat bulan ini, BI mempertahankan suku bunga acuannya di level 6% sebagaimana yang diperkirakan pasar.

Dalam beberapa bulan terakhir, Perry Warjiyo memang kerap kali menyebut bahwa sikap (stance) kebijakan moneter BI tetap hawkish meski suku bunga acuan sudah mendekati puncaknya.

Bahkan, dalam konferensi pers RDG bulan lalu, sang central banker dengan tegas menjawab saat dihadapkan pada pertanyaan serupa.

"Kami menilai suku bunga acuan sudah mendekati puncaknya. Namun, stance kami tetap hawkish, pre-emptive, forward looking," kata Perry, pada 17 Januari lalu.

Namun, dalam RDG edisi Februari 2019, Perry sama sekali tidak menyebutkan kata hawkish seperti yang dikemukakan dalam berbagai kesempatan.

"Sehingga stance suku bunga untuk mendorong stabilitas eksternal, sebagai bagian dari menurunkan defisit transaksi berjalan, dan meningkatkan surplus neraca modal dan neraca pembayaran," tegasnya.

Menariknya, pernyataan yang dilontarkan Perry Warjiyo dalam RDG kali ini senada dengan beberapa pernyataan dari para pejabat bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve dan notulen Federal Open Market Committee (FOMC) yang cenderung melunak (dovish).

Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan peluang kenaikan suku bunga mulai menipis. Bahkan Presiden Federal Reserve New York John Williams mengatakan ia merasa nyaman dengan tingkat suku bunga AS sekarang.

Meski risalah rapat The Fed yang dirilis Kamis dini hari tadi menunjukkan bank sentral AS masih belum sepakat mengenai sampai kapan akan memegang stance dovish, kabar itu tetap saja membuat pasar global bersemangat, tak terkecuali di Indonesia.

Kondisi itu akan dapat menarik aliran modal asing masuk ke pasar keuangan domestik.

"Fed ini kalimatnya dovish. Ini membuat emerging markets menarik kembali... dan capital inflow masuk ke emerging markets," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara dalam konferensi pers yang sama.

Lantas, apa kata analis dalam menyikapi RDG BI edisi Februari?

Ada yang memperkirakan peluang bank sentral menaikkan bunga masih tetap terbuka namun tak sedikit juga yang menilai bahwa ada ruang bagi BI untuk menurunkan bunga.

Kepala Ekonom CIMB Niaga Adrian Panggabean menilai bank sentral masih memiliki ruang untuk menaikkan bunga acuan, setidaknya satu kali pada tahun ini.

"Pertengahan tahun kelihatannya. [...] Turun enggak bisa karena prospek CAD masih di kisaran 2,5% dari PDB, alias masih membuka ruang melemahnya rupiah," kata Adrian, Kamis.

Hal senada diungkapkan ekonomi Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Ananka dalam catatan risetnya yang diterima CNBC Indonesia.

Keduanya yakin BI tidak akan segera meninggalkan stance hawkish-nya karena menurunkan suku bunga terlalu cepat dapat membuka "Kotak Pandora" yang berisi berbagai masalah baru bagi otoritas moneter.

"Memangkas suku bunga mungkin terlihat menggoda saat para central banker dari AS hingga China berada dalam situasi yang dovish," tulis Satria dan Ananka.

"Namun, melakukan hal itu bisa menjadi kontraproduktif bagi aset-aset dalam denominasi rupiah," tambahnya.

Keduanya juga menggarisbawahi kondisi CAD yang masih lebar membuat rupiah masih rentan terhadap tekanan depresiasi. Selain itu, makin kecilnya selisih suku bunga bisa membuat investor asing melepas aset-aset rupiahnya.

Namun, pendapat berbeda justru disampaikan oleh Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual. Menurut dia, peluang bank sentral menaikkan bunga justru telah tertutup rapat-rapat.

Justru, kata David, bank sentral lebih berpeluang menurunkan bunga acuan, ketimbang menaikkan bunga lantaran pernyataan The Fed yang dovish dari hasil notulen Federal Open Market Committe (FOMC).

"[Bunga acuan] naik belum, tapi mengarah turun. Ini pun tergantung eksternal," jelasnya.

David memandang BI lebih berpeluang menahan bunga acuannya sebagai upaya menjaga defisit transaksi berjalan, minimal mampu mencapai target 2,5% dari produk domestik bruto (PDB).

BI, sambung dia, memang berpeluang menurunkan bunga acuan. Namun, hal tersebut akan tetap bergantung pada data-data perekonomian domestik sepanjang tahun ini.

"Saya pikir di semester I belum akan menaikkan bunga, tapi kalau misalnya CAD bisa turun, di bawah 2,5%, bisa saja menurunkan [bunga]. Selain itu, kalau growth turun di bawah 4,9%," jelasnya.

"Memang kelihatanya BI tak lagi hawkish, tapi netral. Ada perubahan mendasar dari The Fed yang berbalik 180 derajat dari sikapnya di Desember," tegas David. (hps/hps)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2U0ZC57

February 22, 2019 at 03:51PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Misteri Hilangnya Kata "Hawkish" dan Menebak ke Mana Arah BI?"

Post a Comment

Powered by Blogger.