Search

Bank, Disrupsi Digital, Gempuran Fintech dan Ekuilibrium Baru

Jakarta, CNBC Indonesia - Keberadaan perusahaan financial technology (fintech) menciptakan kondisi baru dalam industri jasa keuangan. Industri perbankan yang sudah lama matang harus rela dengan fakta bahwa kebutuhan jasa keuangan masyarakat mulai bisa dipenuhi oleh pendatang baru yang bernama fintech. 

Rico Usthavia Frans, Wakil Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) mengatakan kondisi itu sudah mulai tampak di industri perbankan. Penggunaan mobile banking lebih kencang ketimbang internet banking. Kantor cabang kian sepi. 

"Menurut studi kalau kita tidak melakukan transformasi maka kita bisa turun 18%. Kalau bertransformasi kita tumbuh 18%," kata Rico dalam Seminar Kolaborasi Industri Perbankan dan Fintech Dalam Sistem Pembayaran di Jakarta, Kamis (21/2/2019). 


Menurut Rico, bank dan fintech memiliki beberapa perbedaan. Bank diatur amat ketat, sementara fintech tidak ketat. Bank cenderung lambat sementara fintech tumbuh dengan cepat. Suatu saat nanti, lanjut Rico, ekuilibrium tidak akan tepat bertemu di satu titik tengah, tapi lebih mendekati.


Dari sisi bisnis, perbankan pun tidak seleluasa fintech yang bisa menambah fitur dua minggu sekali. Perbankan masih harus menghadapi tantangan karena setiap kegiatannya harus melalui pelaporan Rencana Bisnis Bank (RBB) yang dibuat setahun sekali dan hanya bisa diubah enam bulan sekali.

"Bagaimana bersaing dengan fintech yang dua minggu sekali berubah?," ujar Rico.

Ada sejumlah poin yang akan menemukan titik ekuilibrium baru, menurut Rico. Salah satunya dari sisi fitur. Saat ini, seluruh platform fintech sudah hampir memiliki fitur yang sama. Sehingga akan terjadi features dan UI konvergensi antara perbankan dan fintech. 

"Traveloka, Bukalapak dan lain-lain skema mulai sama semua. Kalau logo diihilangkan dan warna diubah hitam putih ini lama-lama jadi mirip semua karena ada konvergensi. Bank meskipun masih agak jadul sudah mulai mirip juga," jelasnya.

Dari sisi revenue, skema revenue kemungkinan juga akan menemukan keseimbangannya yang baru. Selama bertahun-tahun revenue bank berasal dari fee base income. Untuk pembayaran bill payment bank mengenakan charge sebesar Rp1500-Rp2.000. Di sisi lain,  perusahaan fintech justru jor-joran 'bakar uang'.

"Di Tokopedia orang bayar pajak malah dikasih duit. Ini akan terjadi, apakah perbankan masih mempertahankan itu atau mengurangi fee base income? kita mau sadar sekarang atau nanti?" ungkap Rico.

Hal lain yang akan menemukan keseimbangan barunya ialah Uses Cases Sharing dan infrastructure sharing dan customer base sharing. Selain itu, juga ada risk apetite yang baru. Rico memprediksi ke depan bank akan makin berani dan fintech akan hati-hati. Saat ini, lanjut Rico, fintech kecil masih tidak peduli dengan risiko yang ketat.

"Tapi kalau sudah besar pasti banyak kena juga karena hati-hati," ujarnya.

Terakhir, keseimbangan baru dalam talents capability atau karyawan. Rico yang juga menjabat sebagai Direktur Teknologi Informasi dan Operasi Bank Mandiri mengatakan, saat ini sudah mulai banyak pegawai bank yang berpindah ke perusahaan fintech meskipun pegawai fintech berpindah ke perbankan juga ada. 

"Suatu saat nanti akan ada ekuilibrium nih. Kalau tidak pegawai bank habis pindah ke fintech semua. Akhirnya BI mengatur fintech Indonesia bukan Bank Indonesia," kata Rico berkelakar.

Kendati demikian, sebagai pelaku usaha bank Rico berpendapat semakin cepat fintech 'dirangkul' semakin baik untuk ekosistem jasa keuangan. Tentunya hal ini membutuhkan fasilitas yang baik dari regulator. Sehingga, kata Rico, industri bisa tumbuh sehat bersama-sama.

(roy/roy)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2EbaTcD

February 22, 2019 at 02:25AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Bank, Disrupsi Digital, Gempuran Fintech dan Ekuilibrium Baru"

Post a Comment

Powered by Blogger.