
Namun asumsi itu masih didasarkan pada pertimbangan jika realisasi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada triwulan kedua atau ketiga di tahun ini turun atau di bawah 2%.
"Kalau pertumbuhan ekonomi AS di bawah 2 persen mungkin saja jadi ada pemotongan suku bunga, tapi kita masih lihat data dulu sebelum ambil kesimpulan," kata Mikail, saat ditemui di Bursa Efek Indonesia, Senin (4/2/2019).
Memang, di tahun ini, lanjut Mikail, The Federal Reserve tidak seagresif tahun lalu menaikkan suku bunga acuannya. "Sejauh ini kebijakan moneter AS masih tetap sama, masih cenderung tight walaupun kita tidak tahu kapan dia naiki suku bunga lagi," imbuhnya.
Pendapat berbeda disampaikan Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri. Ia menilai, bank sentral belum pada tahap akan menurunkan bunga acuannya sebab, ruang untuk menurunkan bunga acuan Bank Indonesia itu ditentukan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve.
"Monetary policy sudah hampir mencapai puncaknya, jika BI menaikkan bunga lagi tidak akan terlalu banyak lagi, itu menujukkan tightening cycle akan berhenti," ujar Chatib Basri, di Jakarta, Rabu (30/1/2019) saat acara Mandiri Investment Forum.
Meski demikian, lanjut Chatib, jika nantinya Bank Indonesia menurunkan bunga acuan, hal itu akan berdampak pada gejolak nilai tukar Rupiah. Implikasinya dengan tingkat bunga acuan 6 persen investasi akan terganggu fiskal, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sisi dari royalti juga akan turun. "Kita belum masuk BI menurunkan tingkat bunga," jelas dia.
Chatib melanjutkan, era kebijakan moneter yang ketat diperkirakan tidak akan berlanjut di tahun ini. Analis bahkan memperkirakan di tahun ini The Fed hanya akan menaikkan bunga acuannya 1-2 kali. Hal itu juga diamini oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.
"Itulah sebabnya saya bilang saat ini policy rate kita hampir di puncak, karena kita sudah pertimbangkan ada kenaikan bunga Fed Fund Rate," kata Perry Warjiyo, saat menyampaikan paparannya di acara yang sama.
Perry membeberkan strateginya agar kebijakan bank sentral tetap pro-pertumbuhan, saat siklus kenaikan suku bunga acuan diperkirakan telah mencapai puncaknya. Karena defisit transaksi berjalan masih perlu didorong turun melalui strategi bauran kebijakan, menggabungkan kebijakan makroprudensial dan kebijakan moneter.
Kebijakan yang diambil bank sentral haruslah bersifat pre-emptive dan ahead of the curve, langkah yang selama ini selalu ia dengung-dengungkan. "Jika Anda menghadapi ketidakpastian, Anda harus pre-emptive terhadap ketidakpastian atau risiko tersebut. Kebijakan policy mix sangat jelas membuat aset keuangan dalam negeri menarik," tutur Perry.
Perry menyebut, beberapa risiko eksternal yang disebutnya dapat memengaruhi kondisi ekonomi dalam negeri. Beberapa di antaranya adalah dampak penutupan pemerintahan Amerika Serikat (AS) atau government shutdown, perlambatan ekonomi di China, dan ketidakpastian Brexit di Inggris.
(dru)
http://bit.ly/2RCcVqy
February 04, 2019 at 07:37PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "'Ada Ruang BI Turunkan Bunga Acuan'"
Post a Comment