
Jakarta, CNBC Indonesia - Ramainya pendirian perusahaan manajer investasi (MI) sejak moratorium izin baru dicabut pada 2011 menunjukkan ceruk bisnis di sektor pengelolaan investasi tersebut masih cukup besar.
Apalagi, perkembangan teknologi guna mendukung bisnis pengelolaan investasi sangat unggul, dibandingkan dengan pasar keuangan khususnya di pasar modal dan masih lebih superior dibanding bisnis transaksi perdagangan efek (perantara pedagang efek/PPE).
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, jumlah MI sejak berjumlah 73 perusahaan pada 2012 bertambah secara majemuk 3,62% setiap tahun hingga menjadi 97 perusahaan pada 2019.
Di sisi lain, jumlah perusahaan berizin pedagang efek (sekuritas atau broker) relatif stagnan pada periode yang sama yaitu pada 122 perusahaan pada 2012 atau bahkan dapat dikatakan turun hingga 121 perusahaan pada 2019 meskipun memiliki jumlah awal yang jauh lebih besar.
Dukungan pengembangan aturan dan akhirnya berbuah pada pelaku industri adalah dibukanya keran agen penjual reksa dana (Aperd) berupa perusahaan keuangan berbasis teknologi informasi (fintech). Kebijakan ini mampu mendorong pemasaran reksa dana menjadi 1,39 juta investor dari 470.000 investor dalam waktu kurang dari 2 tahun.
Tahun ini saja, sekurangnya ada enam perusahaan baru yang sudah menggenggam izin sebagai MI baru dari OJK, berdasarkan data di situs otoritas keuangan tersebut.
Pertama, ada PT Nusantara Sentra Kapital yang mendapatkan izin pada Januari.
Uniknya, salah satu pemegang saham perusahaan MI yang baru mendapatkan izin tersebut adalah Perkumpulan Nahdlatul Ulama dengan porsi 5%, selain dari Arifadhi Soesilarto (direktur utama) 60% dan Ratna Puspitasari (direktur) 35%.
Pada Februari, giliran PT Berlian Aset Manajemen yang menjadi perusahaan MI baru. Pemegang saham perseroan terdiri dari PT Gunung Sinar Berlian 90% dan sisanya keluarga Salim (Agung Salim 5%, Bhakti Salim 4%, Dewi Salim 1%, dan Elly Salim 1%).
Setelahnya, berturut-turut adalah PT Maseri Aset Manajemen yang dimiliki oleh Erry Sulistio pada Juni dan PT KISI Asset Management milik PT Korea Investment & Sekuritas Indonesia.
Dua MI lain adalah PT Raha Aset Manajemen milik PT Raha Kapital Asia 99% dan Rezki Sri Wibowo 1% serta PT Shinoken Asset Management Indonesia yang sama-sama mendapatkan izin pada Juli.
Menariknya, selain dimiliki PT Shinoken Development Indonesia yang merupakan anak usaha perusahaan properti asal Jepang Shinoken Group Co Ltd yang sahamnya berkode 8909 sebanyak 85%, sebanyak 15% saham lain Shinoken Asset Management dimiliki PT Moores Rowland Investasi.
Moores Rowland lebih dulu dikenal sebagai perusahaan konsultan keuangan, yang pernah bernama Mazars dan saat ini Moores Rowland bergabung dengan jaringan konsultan Praxity Alliance.
Sejak tahun lalu, hingga tahun ini, sudah ada konsolidasi dan merger dan akuisisi (M&A) perusahaan MI, di antaranya oleh PT Foster Asset Management (Quant Kapital Management), PT Jasa Capital Asset Management (PT Prime Capital), dan PT Batik Aset Manajemen (PT Batasa Capital).
Perusahaan lain adalah PT Ekuator Swarna Investama (PT Equator Investments dan PT Mahanusa Investment Management), PT Narada Aset Manajemen (dari pemilik sebelumnya), dan PT Nusadana Investama Indonesia (PT Ascend Investama Indonesia).
Dua nama lain adalah PT Pan Arcadia Capital (PT Dhanawibawa Manajemen Investasi), dan PT Shinhan Asset Management Indonesia (PT Archipelago Asset Management) yang merupakan anak usaha dari PT Shinhan Sekuritas Indonesia.
LANJUT HALAMAN 2: Pemain kian banyak, apa tantangan bisnis MI?
(tas)https://ift.tt/2V1jwhA
September 18, 2019 at 02:35PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Catat! Bisnis Manajer Investasi RI Kian Seksi, Ini Faktanya"
Post a Comment