
Pada Jumat (22/11/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.080 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun seiring jalan, rupiah masuk jalur merah. Pada pukul 08:16 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.090 di mana rupiah melemah 0,07%.
Kemarin, rupiah ditutup menguat 0,08% di hadapan dolar AS. Penguatan rupiah baru terjadi jelang tutup lapak.
Dari dalam negeri, rupiah terbantu oleh hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) kemarin. Gubernur Perry Warjiyo dan kolega memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 5%. Namun Giro Wajib Minimum (GWM) diturunkan 50 basis poin (bps).
Penurunan GWM tersebut diperkirakan mampu menambah likuiditas perbankan sebesar Rp 26 triliun. Likuiditas tersebut diharapkan mampu merangsang perbankan untuk lebih getol menyalurkan kredit.
Maklum, pertumbuhan kredit memang terus melambat. Pada September, penyaluran kredit hanya tumbuh 7,89% year-on-year (YoY) dan sepanjang 2019 diperkirakan cuma 8%.
Apabila penyaluran kredit semakin kencang, maka dampaknya adalah percepatan pertumbuhan ekonomi. Ada harapan pertumbuhan ekonomi 2020, seiring dengan pelonggaran GWM, bisa lebih baik dari 2019 yang oleh BI diperkirakan sebesar 5,1%.
Prospek perekonomian Indonesia yang lebih baik ini mampu memancing arus modal untuk datang. Pasokan 'darah' yang bertambah membuat rupiah menguat.
Akan tetapi, pagi ini sepertinya Perry Warijyo effect sudah kurang bertaji. Rupiah terbawa arus kebimbangan mata uang Asia.
Ya, mata uang utama Benua Kuning bergerak mixed terhadap greenback. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:19 WIB:
https://ift.tt/2O72xst
November 22, 2019 at 03:43PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Hong Kong Bikin Perry Warjiyo Effect Pudar, Rupiah Terkapar"
Post a Comment